Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

qwdqwqw3f ergw3f 1vreff, Exercises of Law

rfbveeeeeeeeeeeeeeeea reabhaRrgwrvbr

Typology: Exercises

2019/2020

Uploaded on 03/15/2020

alfrido-kalit
alfrido-kalit 🇮🇩

2 documents

1 / 31

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
PERBANDINGAN SISTEM HUKUM COMMON LAW
DAN CIVIL LAW DI BIDANG HUBUNGAN INDURTRIAL
Hasil Pemikiran Yang Tidak Dipublikasikan (Tersimpan dalam Perpustakaan
Kampus) Untuk Keperluan Kelengkapan Unsur Pelaksanaan Penelitian Pada
Laporan Beban Kinerja Dosen Semester Genap 2017/2018
Oleh:
AGUS SUPRAYOGI, S.H., M.H.
NIDN: 0326095801
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ESAUNGGUL
JAKARTA, 2018
pf3
pf4
pf5
pf8
pf9
pfa
pfd
pfe
pff
pf12
pf13
pf14
pf15
pf16
pf17
pf18
pf19
pf1a
pf1b
pf1c
pf1d
pf1e
pf1f

Partial preview of the text

Download qwdqwqw3f ergw3f 1vreff and more Exercises Law in PDF only on Docsity!

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM COMMON LAW

DAN CIVIL LAW DI BIDANG HUBUNGAN INDURTRIAL

Hasil Pemikiran Yang Tidak Dipublikasikan (Tersimpan dalam Perpustakaan Kampus) Untuk Keperluan Kelengkapan Unsur Pelaksanaan Penelitian Pada Laporan Beban Kinerja Dosen Semester Genap 2017/

Oleh:

AGUS SUPRAYOGI, S.H., M.H.

NIDN: 0326095801

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ESAUNGGUL

JAKARTA, 2018

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM COMMON LAW

DAN CIVIL LAW DI BIDANG HUBUNGAN INDURTRIAL

PENELITIAN MANDIRI DOSEN

Semester Genap 2017/

AGUS SUPRAYOGI, S.H., M.H.

NIDN: 0326095801

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT,

karena berkat Rahmat dan Anugerah-Nya Penulis dapat menyelesaikan

penulisan ini.

Dukungan, masukan dan bantuan dari berbagai pihak turut

menentukan keberhasilan penyusunan dan penyelesaian tulisan ini.

Tulisan ini merupakan hasil pemikiran yang tidak dipublikasikan

(tersimpan dalam perpustakaan kampus) karena ditujukan dalam rangka

untuk memenuhi keperluan kelengkapan unsur pelaksanaan penelitian pada

laporan beban kinerja dosen pada semester genap tahun 2017/2018.

Namun selain untuk kepentingan tersebut di atas, Penulis sangat

berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, sebagai

sumbangsih Penulis di dalam perkembangan dunia pendidikan dan hukum.

Penulis pada akhirnya ingin menyampaikan permohonan maaf jika

dalam tulisan ini terdapat kekurangan dan kekhilafan.

Penulis

Agus Suprayogi, SH, MH

iii

ABSTRAK

Judul Penelitian :Perbandingan Sistem Hukum Common Law dan Civil

Law di Bidang HUbungan Industrial

Nama Penulis : Agus Suprayogi, S.H.,M.H.

Kata Kunci :Perbandingan Common Law, Civil Law , Hubungan

Industrial

Isi Abstrak : Hubungan Industrial yang berlaku di suatu negara

, pada umumnya dipengaruhi oleh dua macam tradisi hukum, yaitu tradisi hukum Anglo Saxon (Common Law Tradition) dan Eropa Continental ( Civil Law Tradition ). Dalam Common Law Tradition , sumber hukum yang utama adalah kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat serta perjanjian- perjanjian yang telah disepakati para pihak. Sedangkan dalam Civil Law Tradition , peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah merupakan sumber hukum yang utama. Terdapat dua macam sumber hukum Hukum Ketenagakerjaan yaitu: kaedah hukum otonom dan kaedah hukum heteronom. Jika kedua tradisi hukum tersebut di atas dikaitkan dengan kedua jenis sumber hukum ketenagakerjaan, maka di negara- negara Common Law , sumber hukum Ketenagakerjaan yang utama pada umumnya adalah kaedah otonom seperti Perjanjian Kerja Bersama. Di negara-negara penganut tradisi hukum Civil Law , pada umumnya kaedah heteronom yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah merupakan sumber hukum Ketenagakerjaan yang paling dominan. Hukum Ketenagakerjaan bukanlah jenis hukum yang netral dan independen, sehingga diperlukan keterlibatan pemerintah sebagai upaya perlindungan terhadap buruh yang lemah kedudukannya. Salah satu contoh negara yang menganut tradisi Common Law adalah Singapura. Singapura juga memiliki undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan yaitu The Employment Act 1968. The Employment Act 1968 ini merupakan salah satu undang-undang yang dirancang untuk menciptakan iklim yang menarik bagi para investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan-perusahaan Singapura. Undang- undang ini merupakan penyempurnaan sekaligus konsolidasi atas berbagai ordonansi yang dibuat oleh penguasa colonial (Inggris),. Di Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHK) di Singapura lebih sederhana dan lebih cepat dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia jika karyawan di PHK kemudian gagal melakukan perundingan bipartit dan ia merasa diperlakukan tidak adil maka ia dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial setelah ia diproses terlebih dahulu di lembaga Mediasi / Konsiliasi. Pengadilan Hubungan Industrial yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.

mendasar adalah keputusan pengadilan dijadikan sebagai dasar tradisi hukum dari common law dan keputusan legislatif sebagai dasar tradisi hukum dari civil law. 4

Common law pada umumnya tidak dikodifikasi_._ Ini berarti bahwa tidak ada kompilasi komprehensif aturan hukum dan undang-undang. Sementara common law tidak bergantung pada beberapa undang-undang yang merupakan produk keputusan legislatif, sebagian besar didasarkan pada preseden, artinya keputusan hukum yang telah dibuat dalam kasus serupa sebelumnya. Preseden ini dipelihara dari waktu ke waktu melalui catatan sejarah pengadilan serta didokumentasikan dalam koleksi hukum kasus yang dikenal sebagai buku tahunan dan laporan. Preseden ini diterapkan dalam keputusan setiap kasus baru yang ditentukan oleh hakim ketua. Akibatnya, hakim memiliki peran besar dalam membentuk hukum di Amerika dan Inggris. 5

Civil Law , hukum yang dikodifikasikan_._ Negara-negara dengan sistem civil law yang komprehensif, kodifikasi hukum terus diperbarui antara lain hukum acara di pengadilan, prosedur yang berlaku, dan hukuman yang sesuai untuk tiap pelanggaran. Kodifikasi seperti itu membedakan antara berbagai kategori hukum: menetapkan hukum substantif yang tunduk pada tuntutan pidana atau perdata, hukum acara menetapkan bagaimana menentukan apakah suatu tindakan tertentu merupakan tindak pidana, dan hukum pidana menetapkan hukuman yang sesuai. Dalam sistem hukum perdata, peran hakim adalah untuk menetapkan fakta-fakta kasus dan untuk menerapkan ketentuan dari undang undang yang berlaku. Meskipun hakim sering membawa tuduhan resmi, menyelidiki masalah ini, dan memutuskan kasus ini, ia bekerja dalam kerangka yang dibuat oleh satu set kodifikasi hukum yang komprehensif. Keputusan hakim ini akibatnya kurang penting dalam membentuk hukum perdata daripada keputusan legislator dan sarjana hukum yang menafsirkan undang-undang. Uraian berikut menjelaskan akar sejarah perbedaan-perbedaan ini. 6

Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi dari Negara tersebut. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khusunya asas demokrasi, asas adil, dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multi dimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Oleh karenanya pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung.^7

(^4) John Henry, Merryman. The Civil Law Tradition. (Stanford, California: Stanford University Press, 1969), 41. (^5) Ibid. (^6) Ibid (^7) Abdul Hakim, S.H., M.HUM, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 8.

Tujuan dari hukum ketenagakerjaan ialah:^8

a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan. b. Untuk melindungi tenagakerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha. Berdasarkan tujuan diatas, yang pertama lebih menunjukan bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan dan keadilan bagi para pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha. Sedangkan yang kedua dilatarbelakangi adannya pengalaman selama ini kerap kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja. Untuk itu diperlukan perlindungan hukum secara komperhensif dan konkret dari pemerintah.^9

B. Rumusan Masalah

Pokok-pokok masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana perbandingan sumber hukum ketenagakerjaan antara sistem hukum Common Law dan sistem hukum Civil Law?
  2. Bagaimana perbandingan antara sistem hukum yang berlaku di Singapura ( Common Law) dan di Indonesia ( Civil Law ) di bidang hubungan industrial?

C. Metode Penelitian

Penulisan ini merupakan salah satu kegiatan ilmiah yang berusaha untuk memecahkan masalah-masalah secara sistematis dengan metode-metode dan teknik tertentu yaitu secara ilmiah. Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun penulisan ini adalah penelitian kepustakaan (library research),.Penulisan penelitian mandiri ini menggunakan metode penelitian deskriptif analistis yaitu penelitian yang menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam penelitian.

1. Pendekatan Masalah

Penelitian yang kami lakukan pada dasarnya termasuk ke dalam penelitian hukum empiris, akan tetapi pada tahap awal yaitu sebelum hal itu kami lakukan kami melakukan kajian hukum (penelitian hukum normatif) terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan. Berkenaan dengan

(^8) Ibid. (^9) Ibid.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Common Law dan Civil Law****.

Telah lama sejak berabad-abad yang lalu terjadi perdebatan sengit antara mana yang terbaik antara Civil law dan Common Law. Jeremy Bentham yang kemudian didukung oleh John Austin merupakan Pendukung civil law , dan mereka menganggap bahwa system common law mengandung ketidakpastian dan menyebutnya sebagai “ law of the dog ” .Sebaliknya salah satu pendukung sistem common law , F.V Hayek mengatakan bahwa sistem common law lebih baik dari pada civil law karena jaminannya pada kebebasan individu dan membatasi kekuasaan pemerintah. Cara terbaik untuk mengatasi perbedaan di atas adalah dengan menghampirinya dari aspek historis seperti sebagaimana dikatakan Benjamin N. Cordozo “sejarah dalam menerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan.“ Tradisi common law lahir pada tahun 1066 , terjadi peristiwa pada tahun tersebut yakni ketika bangsa Norman mengalahkan dan menaklukkan kaum asli ( Anglo Saxon ) di Inggris. Sedangkan civil law lahir terlebih dahulu ketika Corpus Juris Civilis of Justinian diterbitkan di Constatinopel pada tahun 533 M. yang sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi. 12

Akar perbedaan yang substansial diantara kedua sistem hukum itu terletak pada sumber hukum yang digunakan oleh Pengadilan dalam memutus sebuah perkara. Sistem civil law menggunakan kodifikasi sebagai sumber hukum, sedangkan sistem common law menggunakan putusan hakim sebelumnya sebagai sumber hukum atau yang lebih dikenal dengan doktrin stare decisis. Perbedaan menonjol lainnya menyangkut peran pengadilan. Di negara civil law hakim merupakan bagian dari pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari sejarah yang melandasi terciptanya perbedaan itu. Sebelum revolusi, para hakim Perancis menjadi musuh masyarakat daripada pembela kepentingan masyarakat karena lebih mendukung kepentingan Raja. Kondisi inilah yang kemudian memicu revolusi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon. Pengalaman sebelum masa revolusi tersebut menjadi inspirasi bagi Napoleon dalam meletakkan hakim di bawah pengawasan pemerintahan untuk mencegah “pemerintahan oleh hakim” seperti yang pernah terjadi sebelum revolusi. Hal ini membuat kekuasaan pemerintah di negara civil law menjadi sangat dominan.^13

Perbedaan ini tetap dipertahankan dalam sistem civil law di daerah continental yang mewarisi tradisi Hukum Romawi. Di Perancis misalnya, pengadilan membedakan antara kasus kasus yang berhubungan dengan pemerintah dan

(^12) Ibid. (^13) Lloyd Mc Cullough, Robbins, “ The Common Law and Civil Law Tradition .”(On-line) Tersedia di WWW : http: // www. law. berkeley. Edu/ library/robins/common Law Civil Law Traditions. html. ( 27 November 2001).

memberlakukan hukum yang berbeda dengan hukum yang mengatur hubungan sektor privat. Posisi ini membuat pengadilan biasa di Perancis secara prosedural tidak mempunyai wewenang untuk mengkaji kebijakan pemerintah. Sebaliknya, negara common law yang berasal dari tradisi Inggris memiliki lembaga pengadilan yang independen. Oleh karenanya kekuasaan untuk menentukan hukum berada pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi.^14

B. Perbandingan Sistim Hukum Common Law dan Civil Law

1. Berdasarkan Sejarah Lahirnya

Civil Law : “ Civil Law ” merupakan sistem hukum yang tertua dan paling berpengaruh di dunia. Sistem hukum ini berasal dari tradisi Roman-Germania. Sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan peraturan tertulis mereka yang pertama yang disebut sebagai “ Twelve Tables of Rome ”. Sistem hukum Romawi ini menyebar ke berbagai belahan dunia bersama dengan meluasnya Kerajaan Romawi. Sistem hukum ini kemudian dikodifikasikan oleh Kaisar Yustinus di abad ke 6. The Corpus Juris Civilis diselesaikan pada tahun 534 M. Ketika Eropa mulai mempunyai pemerintahan sendiri, hukum Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara. Napoleon Bonaparte di Prancis dengan Code Napoleonnya di tahun 1804 dan Jerman dengan Civil Codenya di tahun 1896. 15

Common law : berdasarkan tradisi dan berkembang dari preseden yang dipergunakan oleh hakim untuk menyelesaikan masalah.

2. Berdasarkan Sumbernya

Civil Law , Berbasis pada hukum tertulis ( written law ) dan Menuangkan semaksimal mungkin norma ke dalam aturan hukum. Yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif dan kebiasaan yang hidup dimasyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. 16

Common Law : Berdasar pada putusan-putusan hakim/ pengadilan ( judicial decisions ). Melalui putusan-putusan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, walaupun tetap mengakui peraturan yang dibuat oleh legislatif.

(^14) Ibid. (^15) Mupied Madridista, “ Sistem Hukum Civil Law dan Common Law.” (On Line) Tersedia di WWW: http: //mupiedmadridista.blogspot.com/2011/11/system hukum- civil-law -dan - common-law .html (27 November 2011). (^16) Ibid.

dan hukum tentang perbuatan melawan hukum ( law of torts ) yang tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum. 20

5. Berdasarkan Wilayah Keberlakuannya

Civil Law : Sistem ini berlaku dibanyak negara Eropa dan jajahannya seperti Angola, Argentina, Arménia, Austria, Belgium, Bosnia and Herzegovina, Brazil, Jerman, Yunani, Haiti, Honduras, Italia, Belanda, indonesia dan lain-lain.

Common Law : Sistem ini belaku di Inggris dan sebagian besar negara jajahannya, negara-negara persemakmuran antara lain Bahama, Barbados, Kanada, Dominica, Kep. Fiji, Gibraltar, Jamaika, Selandia Baru, TOGO, dan lain- lain. 21

C. Hukum ketenagakerjaan

Di bidang Hukum ketenagakerjaan terdapat dua macam sumber hukum yaitu: kaedah hukum otonom dan kaedah hukum heteronom. Yang pertama adalah ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh para pihak yang terikat dalam suatu Hubungan Kerja yaitu antara buruh atau Serikat Buruh dengan Pengusaha atau Organisasi Pengusaha. Misalnya Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama ( Collective Labor Agreement ). Yang kedua adalah ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Pihak Ketiga di luar para pihak yang terikat dalam suatu Hubungan Kerja. Misalnya semua Peraturan Perundang- undangan di bidang perburuhan yang ditetapkan atau disahkan oleh Pemerintah, yang antara lain adalah UU No. 13 Tahun 2003, UU No. 02 Tahun 2004 dan UU No. 21 Tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.

Jika kedua tradisi hukum tersebut di atas dikaitkan dengan kedua jenis sumber hukum ketenagakerjaan sebagaimana terurai, maka di negara-negara yang menganut tradisi hukum Common Law , sumber hukum ketenagakerjaan yang utama pada umumnya adalah kaedah otonom seperti Perjanjian Kerja Bersama. Di negara-negara yang menganut tradisi hukum Civil Law Tradition , pada umumnya kaedah heteronom yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah merupakan sumber hukum ketenagakerjaan yang paling dominan. 22

Istilah ketenagakerjaan atau perburuhan merupakan segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja yaitu orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.^23 Orang yang mampu melakukan pekerjaaan tersebut kemudian bekerja

(^20) Ibid. (^21) Ibid. (^22) Ibid. (^23) Indonesia, Undang-Undang Nomor 13Op.Cit ., Pasal 1 angka 1

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain maka disebut dengan pekerja/buruh. Bekerja merupakan kegiatan produktif atas perintah orang lain, dalam hal Hubungan Kerja maka orang lain itu adalah pengusaha. Upah yang diterima pekerja/buruh tersebut merupakan imbalan dari pengusaha atas pekerjaan yang telah dilakukan. Pengertian telah dilakukan bukan semata-mata bahwa pekerjaan yang diperintahkan harus telah selesai dilakukan oleh pekerja/buruh tapi juga bisa diperjanjikan untuk dibayarkan sebelum pekerjaan dilaksanakan.

Hukum ketenagakerjaan idealnya sebagai penyeimbang antara kepentingan pekerja/buruh dengan pengusaha, yang mana hal ini didasarkan atas keadaan pekerja/buruh secara sosial ekonomi dibawah (subordinasi) pengusaha. Dengan demikian bisa dimengerti apabila Hubungan Kerja tidak semata masuk ranah hukum privat akan tetapi telah menjadi hukum publik yang bertujuan memberikan perlindungan yang adil terhadap pekerja/buruh.^24

Menurut Iman Soepomo, Hukum ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.^25 Secara yuridis kedudukan pekerja/buruh dan pengusaha adalah sama, tapi secara sosiologis adalah berbeda, artinya pekerja/buruh yang hanya mempunyai tenaga, meski kadang ada yang memiliki pengetahuan dan skill, untuk bekerja pada orang pengusaha, sehingga membawa konsekuensi pengusaha yang menentukan syarat- syarat kerja dalam perjanjian kerja yang menimbulkan Hubungan Kerja yang terjadi.

Ada tiga undang-undang utama yang mengatur tentang ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu meliputi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dalam Hubungan Kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh terdapat aturan sebagai penjabaran dari tiga undang-undang diatas (aturan heteronoom ) yang antara lain berisi syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pihak-pihak (pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat Buruh) dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang biasanya disebut dengan aturan autonoom. Isi PP atau PKB tidak boleh bertentangan dengan undang-undang diatas, artinya kualitas dan kuantitas isinya tidak boleh lebih rendah dari undang-undang yang mengatur tentang suatu hal.

D. Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja

Hubungan Kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh didasarkan atas suatu perjanjian kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, yang memiliki unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Perjanjian kerja merupakan sebab timbulnya Hubungan Kerja. Adapun dasar (syarat) pembuatan

(^24) Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan , (Jakarta: Dss Publishing, 2005), 7 (^25) Iman Supomo, Pengantar Hukum ketenagakerjaan , (Jakarta: Djambatan, 2003), 3

PHK tidak sukarela juga bisa terjadi karena pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja, PKB atau PP. Perusahaan yang juga sedang melakukan perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, memiliki pilihan untuk mempertahankan atau memutuskan Hubungan Kerja. Dalam konteks PHK tidak sukarela ini, Hubungan Kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh baru berakhir setelah ditetapkan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, namun tidak berlaku dengan PHK yang sukarela.^28

Pengelompokan jenis PHK juga dapat dibedakan menjadi empat jenis PHK menurut UU Ketenagakerjaan, yaitu PHK yang dilakukan oleh pengusaha, PHK atas insiatif pekerja/buruh, PHK yang terjadi demi hukum, dan PHK atas putusan Pengadilan. PHK oleh pengusaha terjadi karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, setelah diberikan surat peringatan (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003); PHK akibat adanya perubahan status perusahaan, penggabungan atau peleburan (Pasal 163 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003); PHK karena perusahaan dilikuidasi bukan karena kerugian (Pasal 164 ayat 2 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003); PHK karena pekerja/buruh mangkir bekerja (Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003); dan PHK karena pengusaha jenis perorangan meninggal dunia (Pasal 61 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).^29

PHK atas inisiatif pekerja/buruh terjadi karena mengundurkan diri (Pasal 162); pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja karena adanya perubahan status perusahaan, penggabungan atau peleburan (Pasal 163 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003); PHK atas permohonan pekerja/buruh kepada lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) karena pengusaha melakukan kesalahan (Pasal 169 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003); PHK atas permohonan pekerja/buruh karena alasan sakit berkepanjangan atau cacat total tetap akibat kecelakaan kerja (Pasal 172 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003). Jenis PHK terjadi demi hukum karena masa kerja yang bersangkutan telah habis kontrak kerja dalam PKWT. Sedangkan PHK oleh pengadilan terjadi karena pekerja melakukan kesalahan berat dan pekerja/buruh menolaknya (ex. Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).

Walaupun demikian terdapat PHK yang dilarang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh, dimana telah diatur dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sebagai berikut:

a) pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus- menerus;

(^28) Ibid. (^29) Ibid.

b) pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c) pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d) pekerja/buruh menikah;

e) pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

f) pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;

g) pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh;

h) pekerja/buruh melakukan kegiatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

i) pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

j) karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

k) pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena Hubungan Kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.^30

Bila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan maka menjadi batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

(^30) Indonesia, Undang-Undang Nomor 13Op.Cit., Pasal153 ayat (1).

Selain Mediasi para pihak juga dapat memilih upaya Konsiliasi yaitu penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau perselisihan antar serikat pckerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. Para pihak juga dapat memilih arbitrase yaitu penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dan para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.

Bila upaya Mediasi atau Konsiliasi gagal, tidak termasuk upaya Arbitrase maka para pihak dapat mengajukan penyelesaian ke Pengadilan Hubungan Industrial yaitu pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Adapun tugas dan berwenangnya adalah memeriksa dan memutus:

a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

c. di tingkat pertama mengenai perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja;

d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan.

Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selarnbat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kenja terhitung sejak sidang pertama. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalarn waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:

a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim;

b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.

Dalam tingkat Kasasi, Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dengan alasan-alasan sebagai berikut:^32

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja pada Mahkamah Agung selambat-1ambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi. Oleh karena hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini, maka bagi para pihak yang tidak puas dengan hasil Kasasi masih dapat mengajukan upaya Peninjauan Kembali dengan alasan sebagai berikut:

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti- bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.^33

(^32) Indonesia, Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359), Pasal 30. (^33) Ibid , Pasal 67.