Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

Perbedaan Diplomasi Publik dengan Diplomasi Budaya, Schemes and Mind Maps of International Relations

Perbedaan Diplomasi Publik dengan Diplomasi Budaya

Typology: Schemes and Mind Maps

2019/2020

Uploaded on 03/13/2023

ayu-herawati
ayu-herawati 🇮🇩

1 document

1 / 12

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
Diplomasi Publik dalam Politik Luar Negeri
Citra Hennida
Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitaas Airlangga, Surabaya
Abstract
The nature of international relations has been rapidly changed due to the simultaneously
development of its actors and the use of ICT, and the the dynamic changes of agendas of
international relations. These changes has also sidelined the significance of state -led
conventional diplomacy as a main tool of foreign policy. In responding to this, a model of
public diplomacy is widely developed as an alternative in many countries including in
Indonesia. It is chosen because public diplomacy is concerned with the eff ective influence
of soft power and it is also less expensive compared to conventional diplomacy. The main
question raised in this article is that how has public diplomacy been conducted and what
role has it played in foreign policy?
Key words: public diplomacy, foreign policy, soft power.
Perkembangan situasi dunia, aktor, dan teknologi informasi membuat arah diplomasi
tradisional bergeser pada diplomasi yang lebih modern, dalam hal ini diplomasi publik.
Perkembangan teknologi informasi membuat pilihan -pilihan alat diplomasi menjadi beragam.
Jika sebelumnya diplomasi banyak diwarnai isu -isu yang terkait dengan `perang`, kini isu itu
semakin bergeser. Perang bukannya tidak ada, tapi kemunculan isu -isu lain seperti lingkungan,
pariwisata, terorisme, kesehata n, hak asasi manusia menjadi sasaran dari diplomasi publik.
Secara umum, diplomasi publik merupakan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah
ketika berhubungan dan berkomunikasi dengan publik mancanegara (foreign public) . Tujuannya
meliputi dua hal, yaitu mempengaruhi perilaku dari negara bersangkutan dan memfasilitasinya.
Karenanya, soft power menjadi perangkat penting dalam pelaksanaan diplomasi publik.
Karakteristik semacam itu memunculkan pemahaman yang keliru bahwa diplomasi
publik tidak jauh dari mo del komunikasi publik lainnya. Pemahaman yang keliru ini lantas
mengecilkan arti diplomasi publik itu sendiri. Karena itu, tujuan dari tulisan ini adalah melihat
Korespondensi: C. Hennida, Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Unair. Jl. Airlangga 4 -6
Surabaya 60286. Telp. 031 -5011 744. E -mail: chennida_fisip@unair.ac.id
pf3
pf4
pf5
pf8
pf9
pfa

Partial preview of the text

Download Perbedaan Diplomasi Publik dengan Diplomasi Budaya and more Schemes and Mind Maps International Relations in PDF only on Docsity!

Diplomasi Publik dalam Politik Luar Negeri

Citra Hennida

Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitaas Airlangga, Surabaya

Abstract

The nature of international relations has been rapidly changed due to the simultaneously

development of its actors and the use of ICT, and the the dynamic changes of agendas of

international relations. These changes has also sidelined the significance of state - led

conventional diplomacy as a main tool of foreign policy. In responding to this, a model of

public diplomacy is widely developed as an alternative in many countries including in

Indonesia. It is chosen because public diplomacy is concerned with the eff ective influence

of soft power and it is also less expensive compared to conventional diplomacy. The main

question raised in this article is that how has public diplomacy been conducted and what

role has it played in foreign policy?

Key words : public diplomacy, foreign policy, soft power.

Perkembangan situasi dunia, aktor, dan teknologi informasi membuat arah diplomasi tradisional bergeser pada diplomasi yang lebih modern, dalam hal ini diplomasi publik. Perkembangan teknologi informasi membuat pilihan - pilihan alat diplomasi menjadi beragam. Jika sebelumnya diplomasi banyak diwarnai isu - isu yang terkait dengan perang, kini isu itu semakin bergeser. Perang bukannya tidak ada, tapi kemunculan isu - isu lain seperti lingkungan, pariwisata, terorisme, kesehata n, hak asasi manusia menjadi sasaran dari diplomasi publik. Secara umum, diplomasi publik merupakan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah ketika berhubungan dan berkomunikasi dengan publik mancanegara (foreign public). Tujuannya meliputi dua hal, yaitu mempengaruhi perilaku dari negara bersangkutan dan memfasilitasinya. Karenanya, soft power menjadi perangkat penting dalam pelaksanaan diplomasi publik. Karakteristik semacam itu memunculkan pemahaman yang keliru bahwa diplomasi publik tidak jauh dari mo del komunikasi publik lainnya. Pemahaman yang keliru ini lantas mengecilkan arti diplomasi publik itu sendiri. Karena itu, tujuan dari tulisan ini adalah melihat  (^) Korespondensi: C. Hennida, Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Unair. Jl. Airlangga 4 - 6 Surabaya 60286. Telp. 031 - 5011 744. E-mail: chennida_fisip@unair.ac.id

diplomasi publik dan perannya dalam pencapaian politik luar negeri. Diplomasi Publik: Pengert ian dan Perkembangannya Diplomasi publik dimaknai sebagai proses komunikasi pemerintah terhadap publik mancanegara yang bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, institusi, budaya, kepentingan nasional, dan kebijakan - kebijakan yang diambil o leh negaranya (Tuch, 1990: 3; Gouveia, 2006: 7-8, dikutip J. Wang, 2006). Jay Wang (2006) melihat diplomasi publik sebagai suatu usaha untuk mempertinggi mutu komunikasi antara negara dengan masyarakat. Dampak yang ditimbulkan meliputi bidang politik, ekon omi, sosial, dan dalam pelaksanaannya tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah. Sementara itu, Jan Mellisen (2006) mendefinisikan diplomasi publik sebagai usaha untuk mempengaruhi orang atau organisasi lain di luar negaranya dengan cara positif sehingga mengubah cara pandang orang tersebut terhadap suatu negara. Berdasarkan semua definisi itu, dapat dikatakan bahwa diplomasi publik berfungsi untuk mempromosikan kepentingan nasional melalui pemahaman, menginformasikan, dan mempengaruhi publik di luar negeri. Karenanya, diplomasi publik merupakan salah satu instrumen soft power. Jika dibandingkan, ada tiga perbedaan antara diplomasi publik dengan diplomasi yang sifatnya resmi (tradisional). Pertama, diplomasi publik bersifat transparan dan berjangkauan luas, sebaliknya diplomasi tradisional cenderung tertutup dan memiliki jangkauan terbatas. Kedua, diplomasi publik ditransmisikan dari pemerintah ke pemerintah lainnya. Ketiga, tema dan isu yang diusung oleh diplomasi resmi (jalur pertama) ada pada prilaku dan kebij akan pemerintah, sedangkan tema dan isu yang diangkat oleh diplomasi publik lebih ke arah sikap dan perilaku publik. Dalam diplomasi publik, perlu dipahami bahwa proses diplomasinya tidak hanya di luar negeri tapi juga di dalam negeri. Evan Potter (2006) mengatakan bahwa permasalahan diplomasi publik tidak hanya tantangan terhadap kebijakan luar negeri, tetapi juga merupakan tantangan nasional. Esensi dari diplomasi publik adalah membuat orang lain berada di pihak anda, sedangkan permasalahan dalam diplomasi publik adalah bagaimana mempengaruhi opini dan perilaku orang lain. Dalam hal ini, yang dimaksud orang bukan hanya pemangku kebijakan, tetapi juga khalayak atau publik. Sebagai instrumen soft power , perkembangan diplomasi publik tergolong pesat. Pesatnya perkembangan ini dipicu oleh kenyataan bahwa upaya - upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam diplomasi jalur pertama dianggap telah gagal mengatasi konflik - konflik antarnegara. Kegagalan diplomasi jalur pertama tela h mengembangkan pemikiran untuk meningkatkan diplomasi publik sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan konflik - konflik antarnegara

Strategi Komunikasi dalam Diplomasi Publik Diplomasi publik mensyaratkan kemampuan komunikasi karena terkait dengan perubahan sikap masyarakat, saling pengertian dalam melihat persoalan - persoalan politik luar negeri. Di era informasi, pendapat mas yarakat dapat secara efektif mempengaruhi tindakan pemerintah. Karakteristik dunia seperti ini membutuhkan manajemen informasi untuk menyatukan masalah-masalah domestik dan luar negeri. Dengan begitu, diplomasi publik termasuk mengoptimalkan aktivitas kom unikasi, yaitu mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan informasi demi kepentingan negara. Seperti yang dikatakan oleh Mantan Menteri Luar Negeri AS, George Shultz, bahwa bahan baku diplomasi adalah informasi; bagaimana memperolehnya, menganalisis, dan mene mpatkannya dalam sistem (Schultz, 1997 dikutip Djelantik, 1994). Jay Wang (2006) melihat diplomasi publik sebagai konsep yang sifatnya multi dimensi dan mencakup tiga tujuan utama, yaitu: (1) mempromosikan tujuan dan kebijakan negara, (2) bentuk komunikasi nilai dan sikap, serta (3) sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman bersama dan mutual trust antara negara dan masyarakat. Mengacu pada tujuan tersebut, diplomasi publik menekankan pada pesan yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Sebagai bentuk partisi pasi, perlu dibangun strategi komunikasi dalam diplomasi publik, yaitu strategi komunikasi pemerintah untuk mengatur kekuatan - kekuatan di dalam seperti misalnya menggunakan kelompok - kelompok non-negara (MNC, NGO) dan strategi komunikasi di luar dengan kelo mpok sasaran publik manca. Selanjutnya Christopher Ross (2003), Koordinator Bidang Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri AS, mengatakan bahwa ada tujuh pilar yang harus dipahami agar diplomasi publik yang dilakukan bisa berhasil, dalam artian dapat meme nuhi tujuannya dalam menginformasikan, melibatkan, dan mempengaruhi publik manca (to inform, engage, and influence). Pertama, ada koordinasi kebijakan pada tataran nasional. Kegiatan diplomasi publik bentuknya beragam, dan semuanya ditujukan untuk menduku ng kepentingan nasional dan memenuhi kewajiban-kewajiban internasional suatu negara. Untuk itu, harus dipastikan terlebih dulu bahwa publik manca memahami betul kebijakan yang diambil. Harus dipastikan pula bahwa sumbernya berasal dari pemerintah, bukan ya ng lain. Diplomasi publik pada tataran nasional perlu dikoordinasikan pada tataran pemerintah mengingat beragamnya jenis pesan, bahasa, kelompok sasaran, format, dan media. Koordinasi penting dilakukan agar prioritas atas informasi dan pemahaman tema menja di jelas; pesan yang akan disampaikan adalah konsisten; dan sumber - sumber yang digunakan adalah efektif. Kedua, mesti ada cukup alasan dan rasionalitas yang mendukung suatu kebijakan. Ketiga,

pesan yang akan disampaikan ke publik mancanegara harus konsist en, kredibel, dapat dipercaya, dan benar. Perlu dipahami bahwa publik yang menjadi sasaran diplomasi publik adalah beragam. Maka, hal yang dapat diandalkan adalah kredibilitas - what we mean and mean what we say. Keempat, menghindari munculnya kontradiksi antara konsistensi dan pembuatan pesannya. Konsistensi dipahami sebagai kemampuan untuk mendesain suatu pesan untuk suatu publik tertentu. Mengingat perkembangan ICT (Information Communication Technology) , maka pesan itu juga harus didesain secara cepat. Kevakuman informasi akan memunculkan pesan yang datang dari sumber di luar pemerintah. Kelima, karena kelompok sasaran diplomasi publik adalah luas dan beragam, maka perlu memanfaatkan semua saluran komunikasi yang ada seperti internet, broadcasting , publikasi cetak, press placements , travelling speaker , atau pertukaran pendidikan dan budaya. Keenam, memperluas aliansi dan kerjasama dengan sektor - sektor swasta dan aktor non - negara lainnya. Ketujuh, perlunya dibangun fondasi kepercayaan dan pemahaman melal ui komitmen dan dialog. Selain ketujuh pilar tersebut, diplomasi publik juga memiliki tiga tingkatan komunikasi (Anholt, 2006: 5-6) yaitu: (1) perangkat diplomasi publik menjual apapun bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, (2) menjual keb ijakan pemerintah, namun dengan kewenangan untuk mengondisikan model dan isi kebijakan luar negerinya, (3) menempatkan sebagai instrumen kebijakan, bukan pada metode komunikasi kebijakan. Dalam tahapan ini banyak digunakan pendekatan - pendekatan yang sifatnya soft power dibanding hard power dalam mengubah pemahaman dan perilaku kelompok sasaran. Mengingat bahwa tidak ada bentuk standar dalam diplomasi publik, diplomasi publik dikenal sebagai tailor made diplomacy. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam penerapan strategi komunikasinya (Melissen, 2006: 11 - 14), yaitu: (1) Dalam pembentukan dan penerapannya, diplomasi publik selalu disesuaikan dengan keadaan setempat dan kasus - kasus tertentu. Terkadang apa yang dianggap wajar di suatu negar a belum tentu wajar di negara lain. Misalnya: narkoba dan euthanasia dapat dijadikan bahan dalam diplomasi publik di Belanda, tetapi tidak dapat diterapkan di Turki atau AS. (2) Diplomasi publik dapat dijadikan jembatan untuk mengisi gap antara budaya-budaya radikal, tapi harus diperhatikan bahwa penerapannya hanya bisa berlaku ketika hubungan saling ketergantungan secara ekonomi ada atau antar masyarakat yang dalam beberapa tingkatan saling terkait, misalnya masyarakat Uni Eropa. (3) Diplomasi publik dapat berjalan pada sistem komunikasi dua arah. Pada sistem satu arah, diplomasi publik sulit dilakukan. Sebagai analogi, diplomasi publik mirip dengan teknik - teknik marketing. Diplomasi publik diawali dengan persepsi dan kepercayaan yang ada sebelumnya di

memadukan demokrasi dengan ekonomi liberal (Nye, 2007: 4). Secara militer dan ekonomi, Cina tidak bisa dibandingkan dengan AS. Cina tidak punya industri budaya sebesar Hollywood dan universitasnya tidak semaju AS. Cina juga memiliki jumlah NGO yang minim jika dibanding AS. Secara politik, Cina mengalami masa - masa korupsi, inequality , kurangnya iklim demokrasi, permasalahan HAM, dan sulitnya penegakan huku m. Dengan semua permasalahan tersebut, Cina membuktikan dapat bangkit menjadi satu kekuatan besar dunia. Hal ini yang menyebabkan Konsensus Beijing banyak ditiru dan menarik perhatian negara-negara otoritatif dan semi otoritatif. Melihat dua hal diatas, d alam pandangan Nye, kerangka soft power yang potensial untuk di- exercise adalah pertukaran pendidikan, broadcasting , developing assistance , pertukaran militer, dan disaster relief. Perkembangan ICT sebagai Modalitas Karena kelompok sasaran diplomasi pu blik sangat luas dan beragam, semua saluran komunikasi yang ada perlu dimanfaatkan. Seiring dengan perkembangan ICT, jumlah saluran komunikasi menjadi beragam, kompleks, dan rumit. Akibatnya, mekanisme kontrol atas informasi yang diusung lewat diplomasi pu blik menjadi lebih rumit dan kompleks. Perkembangan ICT memunculkan dua sisi yang sifatnya bertentangan. ICT merupakan modalitas yang sifatnya strategis. ICT telah lama digunakan secara efektif dalam perjuangan aktor - aktor non-negara dalam isu-isu HAM, perdagangan, kemiskinan, dan lingkungan. Rio Earth Summit tahun 1992, gerakan Zapatista tahun 1994, gerakan anti globalisasi di Seattle tahun 1999, keterlibatan NGO dalam UNFCC di Bali tahun 2007 adalah beberapa contoh. Forum-forum global tersebut menunjukka n bagaimana ICT dimanfaatkan dan digunakan dalam jumlah yang masif untuk berinterkoneksi dan berjaringan. Media ICT memudahkan tiap delegasi untuk berbagi informasi, berdebat, menetapkan agenda dan rencana strategis kedepan. ICT banyak digunakan oleh akto r-aktor non-negara karena berbiaya rendah dan sifatnya yang masif. Hal ini dapat diadopsi dan diterapkan oleh negara - negara kecil mengingat pilihan untuk meng- exercise hard power membutuhkan anggaran yang besar jika dibanding upaya untuk meng- exercise soft power. Dengan alasan tersebut, seharusnya upaya menjalankan diplomasi publik yang efektif dapat mudah dilakukan. Namun, dalam pelaksanaannya tidak demikian. Nye (2004: 107) menyebutnya sebagai paradox of plenty yang dapat diuraikan dalam empat hal, ya itu: (1) Perlu untuk mengetahui persepsi dan sikap publik global terhadap suatu negara tertentu mengingat

pasca Perang Dingin banyak terjadi realiansi politik dan ekonomi. (2) Transparansi media komunikasi membuat kelompok sasaran tidak terbatas pada satu negara saja, tapi berada pada tataran global. (3) Menurunnya kredibilitas pesan yang ada dalam proses diplomasi publik. Masyarakat cenderung mempersepsikan apa yang dikomunikasikan oleh pemerintah sebagai bentuk propaganda. (4) Muncul banyak saluran komuni kasi yang membutuhkan peninjauan ulang terhadap model komunikasi apa yang mesti digunakan. Keempatnya merupakan modalitas sekaligus ancaman, tergantung bagaimana pemerintah dapat memanfaatkannya sebagai daya dukung diplomasi publik. Di satu sisi, media da pat bertindak sebagai mekanisme doktrinasi, agen manipulasi, dan pembentukan consent yang ditentukan oleh elit. Di sisi lain, media juga dapat mempercepat proses pengambilan kebijakan dan membuat pemerintah lebih jeli untuk menjual dan menerangkan kebija kan yang diambil serta memperhitungkan dampak publik terhadap kebijakan tersebut (Hassan, 2004: 104 - 106). Diplomasi Publik dan Model Komunikasi Lainnya Diplomasi Publik dan Nation Branding Harus dibedakan antara diplomasi publik dan nation branding. Seperti halnya diplomasi pada umumnya, diplomasi publik berbicara mengenai membangun hubungan bukan pada proyeksi identitas, seperti halnya branding. Hal yang membedakan keduanya adalah: (1) Branding dianggap tidak mampu untuk mengantarkan (khususnya kebutuhan - kebutuhan politis) diplomasi publik dari Deplu, dan juga tidak mampu bergerak dalam situasi yang rigid dan pendekatan-pendekatan yang sulit dalam mempromosikan negara. Menerapkan branding korporasi dalam hubungan antarnegara agaknya masih jauh. Masyarakat modern yang lebih plural dan kompleks membuat beberapa pendekatan branding sulit dilakukan. (2) Diplomasi publik berkisar pada proses dialog dan debat. Termasuk di dalamnya pada tema - tema yang sensitif dan kontroversial. (3) Diplomasi publik merupakan bag ian dari proses yang lebih luas oleh negara dengan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Diplomasi publik bukan sesuatu yang bisa berdiri sendiri, dan bukan semata-mata praktek teknik marketing , advertising , manajemen media atau spin doctor , melainkan sebuah bentuk luas dari perubahan diplomasi. Misalnya, keberhasilan Spanyol dalam mengatasi teroris Islam tidak bisa dilepaskan dari pengalaman historis hidup berdampingan dengan Islam selama lebih 800 tahun. Hal tersebut tidak dapat diterapkan di AS misalnya. Atau keberhasilan Ramos Horta dalam melakukan diplomasi publik dengan Australia, akan berbeda hasilnya ketika itu dilakukan oleh Indonesia. (4) Dengan diplomasi publik, hubungan antara diplomasi dan masyarakat menjadi semakin dekat. Pembed aan klasik bahwa diplomasi terkait dengan masyarakat kelas atas menjadi usang. Diplomasi tidak lagi monopoli

Untuk saat ini, diplomasi publik mengalami masa pencerahan, muncul globalisasi dalam diplomasi publik. Indonesia memiliki departmen diplomasi publik di bawah Departemen Luar Negeri; Turki menaikkan anggaran US$ 25 juta untuk diplomasi publiknya; Cina mendirikan banyak lembaga yang berhubungan dengan hubungan budaya di banyak kota di dunia. (de Gouveia, 2006:8). Hubungan antara diplomasi dan politik luar negeri erat kaitannya. Politik luar negeri mengalami dua tahapan dalam prosesnya, yaitu pada tataran pembuat an dan implementasi kebijakan. Diplomasi merupakan salah satu instrumen dimana keputusan atau kebijakan diimplementasikan (White, 1997: 257). Dalam pengertiannya yang luas, diplomasi tidak hanya menyangkut pada tataran implementasi, tapi juga proses pembua tan kebijakan. Hal ini terkait dengan fungsi dari diplomasi itu sendiri yang menyangkut pengumpulan informasi, pemberian saran terhadap kebijakan, perwakilan, negosiasi, dan jasa - jasa konsuler (White, 1997:258). Lalu, bagaimana dengan diplomasi publik sen diri? Pembuatan kebijakan luar negeri didominasi oleh elit, tapi dalam pengumpulan informasi dan pertimbangan - pertimbangan, pembuatannya banyak dipengaruhi oleh faktor - faktor di luar negara, seperti swasta dan NGO. Aktor non-negara sebagai publik selanjutn ya tidak hanya terlibat dalam proses implementasinya, tapi juga dalam hal perumusan kebijakannya. Ke depan, peranan diplomasi publik sebagai instrumen politik luar negeri semakin mengemuka. Philip Fiske de Gouveia (2006) mengindikasikan ada delapan predik si mengenai masa depan diplomasi publik. (1) Mengemukanya soft power. Soft power dalam exercise - nya tidak didominasi oleh elit, tapi dapat melibatkan publik lebih banyak. (2) Munculnya komunikasi yang bersifat agresif dan lebih kompetitif. Ketika setiap negara mulai mengkomunikasikan kebaikan-kebaikan negaranya dan apa yang bisa ditawarkan, maka informasi yang muncul menjadi bias dan yang terjadi adalah bentuk komunikasi yang negatif dan agresif. (3) Meskipun di satu sisi, diplomasi publik menjadi agresif d an kompetitif, tapi di sisi lain hal ini juga menumbuhkan kerjasama. Ketika masing - masing negara bersaing satu sama lain dalam hal diplomasi publik dan strategi komunikasinya, maka di satu sisi hal ini semakin menumbuhkan kerjasama. Misalnya Uni Eropa atau ASEAN, dalam beberapa isu negara - negara anggota bekerjasama yang bertujuan untuk meminimalkan biaya dan memaksimalkan dampak yang ditimbulkan apabila bekerja sendiri seperti dalam isu HAM, lingkungan, atau penyakit. Perlu diperhatikan bahwa kerjasama ters ebut tidak akan bisa berjalan ketika pada satu isu yang sama, kepentingan masing-masing negara anggota saling tumpang tindih. (4) Media global tidak lagi didominasi oleh media barat. (5) Diplomasi publik yang dilakukan di dalam negeri harus seiring dengan diplomasi publik yang dilakukan di luar negeri. (6) Diplomasi publik tidak lagi otoritas

pemerintah. Diplomasi publik sering dilakukan oleh perusahaan - perusahaan swasta dan konsultan yang mengatasnamakan pemerintah. (7) Teknologi memiliki peranan dalam mem pengaruhi pembuatan, pengukuran keberhasilan, dan evaluasi pelaksanaannya. (8) Diplomasi publik dan strategi komunikasi diperlukan untuk mengatasi permasalahan - permasalahan global yang sifatnya non-politis. Selanjutnya, ada beberapa alasan pemberian p rioritas dalam penerapan diplomasi publik, yaitu: (1) Diplomasi publik memiliki efek jangka panjang terhadap tujuan - tujuan politik luar negeri. (2) Diplomasi publik dapat meningkatkan ekspor suatu negara dan investasi asing. Hal ini biasa terjadi pada nega ra-negara berkembang. (3) Menunjukkan eksistensi bagi negara - negara yang memiliki power lemah di tataran dunia, misalnya Norwegia. (4) Membantu beberapa negara untuk mengartikulasi identitas nasionalnya, seperti Kanada. (5) Sebagai bentuk komitmen suatu negara atas situasi dunia yang stabil dan tata dunia multilateral yang damai. (6) Membantu dalam mereduksi streotipe yang salah atas suatu negara, misalnya realitas negara - negara Balkan. (7) Sebagai bentuk counter atas pemberitaan negatif suatu negara akibat krisis domestik yang menimpanya. Kesimpulan Semakin berkembangnya aktor non - negara, perubahan agenda dalam politik internasional, dan perkembangan ICT memicu berkembangnya diplomasi publik. Diplomasi publik muncul dengan mengutamakan pendekatan - pendekatan soft power dalam implementasinya. Diplomasi publik semakin mengemuka karena memiliki beberapa kelebihan, salah satunya berbiaya rendah. Diplomasi publik muncul sebagai alternatif instrumen politik luar negeri yang dapat dilakukan dan dikembangkan oleh n egara-negara yang memiliki kapasitas power terbatas seperti halnya Indonesia. Agar dapat berfungsi optimal dalam artian dapat mencapai tujuan - tujuan poltik luar negeri, pelaksanaan diplomasi publik harus memperhatikan strategi komunikasi. Tahapan menginformasikan, melibatkan, dan mempengaruhi dibangun pada level domestik dan internasional. DAFTAR PUSTAKA Anholt, S. (2006) Public Diplomacy and Place Branding: Where`s the Link. Journal of Communication Management 2 (4), [Diakses 22 Januari 2008], p. 271 - 276. http://proquest.umi.com. De Gouveia, P.F. (2006) The Future of Public Diplomacy. In: J. Noya (ed). The Present and