
















Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Makalah ekonomi syariah bab dua
Typology: Lecture notes
1 / 24
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
STUDI SISTEM EKONOMI ISLAM SEBAGAI SISTEM EKONOMI ALTERNATIF
*) Nanang E. Ariadi dan Dwi Sugiarso: Mahasiswa Program Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Jember, Jember.
ampir dua tahun berjalan Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sejak pertengahan Juli 1997 hingga sekarang masih belum ada tanda krisis akan segera berakhir. Seperti telah diketahui umum bahwa krisis ini bermula dari krisis moneter regional kawasan Asia Tenggara, yakni saat pemerintah Thailand mendevaluasi mata uang Bath pada tanggal 2 Juli 1997 terhadap Dolar US. Akibatnya nilai tukar Rupiah merosot tajam hingga pernah mencapai Rp15.000,00 per US$ pada awal tahun 1998.
Terdepresiasinya nilai Rupiah kemudian menjalar dengan cepat menjadi krisis ekonomi secara keseluruhan di segala bidang, yang semula dirasakan terjadi pada sektor perbankan. Sehingga untuk menghadapi rentetan krisis ini pemerintah mencoba mengambil garis kebijakan mendasar yang terdiri atas empat tindakan, yakni stabilisasi moneter, pengetatan likuiditas, penghematan dan penyesuaian struktural melalui liberalisasi perdagangan dan intervensi (Saidi, 1998: 18).
Namun implikasi mendasar dari krisis ini terhadap perekonomian nasional adalah dipertanyakannya kembali thesis kebijakan perekonomian nasional yang selama ini dijalankan. Pandangan spekulatif internasional tentang Indonesia sebagai negara berkembang yang digadang-gadang sebagai new emerging forces dan anggota kelompok ekonomi Asia berkinerja tinggi ( high performing Asian economies ) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata di atas 6-7% per tahun selama 25 tahun terakhir menjadi runtuh oleh krisis karena lemahnya fundamental dasar perekonomian. Disamping itu, yang menyebabkan semakin parahnya tingkat krisis adalah masalah sosial lain, seperti ketimpangan atau kesenjangan yang tidak mengalami perbaikan berarti pada jaman Orde Baru kalau tidak hendak dikatakan semakin memburuk.
Lebih lanjut Faisal Basri (1995: 91) menyebutkan paling tidak ada tiga macam ketimpangan yang kerap kali mengganjal suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai kesejahteraan yang bersendikan pada asas keadilan sosial. Yakni (1) kesenjangan antar daerah, (2) kesenjangan antar sektor, serta (3) kesenjangan distribusi pendapatan masyarakat.
Kesenjangan pertama lebih bersifat struktural dimana penanganan dan pemecahan masalah daerah masih bersifat sentralistik. Sehingga daerah kurang memiliki keleluasaan dan kelurwesan dalam menangani serta merumuskan strategi dan langkah-langkah dalam memecahkan permasalahannya sendiri. Sementara jenis kesenjangan yang disebutkan kedua lebih disebabkan oleh strategi pembangunan yang bias ke sektor perkotaan (urban bias) atau ke sektor moden sehingga sektor tradisional dan pembangunan daerah pedesaan relatif
dari jatah kue pembangunan. Selama ini pemerataan kesejahteraan lebih dilihat sebagai suatu hal yang sifatnya pragmatis, yakni sebagai pembagian hasil atau kelebihan (surplus) pembangunan. Sehingga yang menjadi orientasi utama adalah tingkat pertumbuhan dan surplus pembangunan yang tinggi.
Sebagai akibat dari kondisi tersebut, maka terjadilah kesenjangan yang sangat kentara yang dapat dilihat dan diukur dalam bidang ekonomi. Walaupun pembangunan terus dilakukan, namun jurang pemisah antara si miskin dan si kaya makin lebar saja. Lebih jauh lagi, data BPS (1992) menunjukkan bahwa usaha kecil di Indonesia berjumlah 33,4 juta yang tersebar di berbagai sektor. Jumlah yang terbanyak adalah sektor pertanian (63,8%), perdagangan (17,4%), industri pengolahan (7,5%), jasa (4,8%), angkutan (3,6%), bangunan kontruksi (2,6%) serta keuangan dan asuransi (0,6%). Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha kecil masih berada di sektor yang secara ekonomi termasuk sektor yang kurang menguntungkan, yaitu sektor pertanian.
Krisis ekonomi mengakibatkan sektor moneter mengalami keterpurukan hingga menimbulkan kemacetan luar biasa pada sektor riil atau produksi. Implikasi terberat secara logika tentunya dialami oleh pengusaha kecil yang bergerak dalam sektor tersebut. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat suku bunga pinjaman yang belum tentu bisa dicapai oleh pengusaha-pengusaha dengan omzet kecil sementara tanpa bantuan kredit sulit bagi mereka untuk dapat bergerak dan beroperasi secara leluasa. Dari realitas seperti ini sangat relevan apabila diambil satu pemasalahan mendasar tentang formulasi sistem ekonomi yang tepat dan sesuai untuk Indonesia dengan tetap memberdayakan potensi ekonomi rakyat dalam menguasai sumber daya?
Dengan melihat realita yang sekarang tengah terjadi, penulisan ini bertujuan untuk:
Per definisi segala sesuatu yang menyangkut banyak bagian/unsur yang saling berinteraksi adalah sistem (Mubyarto, 1987: 213).Sistem ekonomi adalah sistem yang memiliki unsur-unsur yang terlibat dalam proses produksi dan konsumsi dan memerlukan aturan dalam interaksi terentu, seperti sumber daya alam, teknologi dan manusia serta subsistem sosial ekonomi dan lembaga-lembaga masyarakat yang terlibat didalamnya. Karena tiap negara mempunyai sistem nilai tertentu yang berbeda dengan negara lain, maka sistem ekonomi setiap negara memiliki ciri khas tersendiri. (Mubyarto, 1987: 214).
Krisis ekonomi diakibatkan krisis moneter regional secara langsung dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Kekeliruan dalam memilih kebijakan sistem ekonomi nasional dengan tidak terlalu berpihak pada rakyat membuat fundamen perekonomian nasional menjadi rapuh dan tidak stabil. Dari argumen ini memberikan simpulan tentang perlunya review dan rethinking atas pola kebijakan pembangunan ekonomi yang selama ini dilakukan. Namun yang tidak boleh dinafikkan adalah hasil-hasil positif dari pembangunan ekonomi yang selama ini dilakukan.
Hasil-hasil pembangunan yang dilakukan selama pemerintahan Orde Baru menunjukkan grafik peningkatan taraf hidup rakyat yang luar bisa. Hal ini bisa dilihat dari angka statistik hasil pembangunan ekonomi Orde Baru selama kurun waktu 25 tahun terakhir, yakni (GBHN, 1983) :
krisis dan reformasi ini adalah model pembangunan yang selama ini berada dalam sistem politik otoritarian, dan kekuasaan yang terlalu lama telah menghasilkan sistem yang penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kondisi demikian merupakan implikasi dari sistem politik yang tanpa pengawasan, dan hubungan klientilistik yang terlalu kuat.
Seperti yang telah dibahas pada bagian awal bahwa model pembangunan yang elitis dan protektif ternyata menyimpan sejumlah masalah besar dalam segi sosial ekonomi. Krisis yang terjadi akibat kurang tercapainya perasaan keadilan, baik keadilan sosial maupun ekonomi. Sehingga relevan bila difikirkan kembali, apakah masalah keadilan ekonomi dan/ atau keadilan sosial lebih banyak menjadi masalah pada saat kemajuan kemakmuran, ataukah pada saat kemunduran dan keprihatinan seperti saat ini. Meskipun permasalahan yang sering diperdebatkan adalah masalah pertumbuhan ( growth ) dan pemerataan ( equity ), namun berkaca pada masa orde baru tampak jelas bahwa para arsitek ekonomi Orde Baru lebih berminat untuk membahas masalah pertumbuhan dibanding masalah pemerataan. Sistem ekonomi Orde Baru terlalu mempercayai bahwa kemajuan ekonomi secara ekonomis akan menghasilkan keadilan ekonomi ( trickle down effect ), seperti persaingan tidak saja mempercepat pertumbuhan tetapi juga akan membagi hasil pertumbuhan secara merata (Mubyarto, 1987: 211). namun pada kenyataannya kemajuan otomatis semacam ini jarang sekali terjadi , justru mengakibatkan jurang kesenjangan sosial semakin lebar.
Pada dasarnya terdapat tiga tipologi pembangunan pertumbuahan seperti yang dikemukakan oleh Gary Field (dalam Todaro, 1995: 147), yakni 1) tipologi pertumbuhan perluasan sektor-modern, dimana pengembangan ekonomi dua sektor, tradisional dan industri modern tertumpu pada pembinaan dan pemekaran sektor modern. Pada tipologi ini sulit diperoleh ketagasan tentang perubahan atas ketimpangan distribusi pendapatan, karena distribusi pendapatan bersifat fluktuatif, bisa dikatakan membaik namun bisa dikatakan memburuk. 2) Tipologi pertumbuhan yang memperkaya sektor modern. Pada tipologi ini pertumbuhan ekonomi memang berjalan pesat namun distribusi pendapatan semakin timpang, karena hasil pembangunan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Pertumbuhan biasanya berkaitan dengan modernisasi, yakni adanya peranan teknologi tinggi dan alat ekonomi yang padat modal, sehingga hasil yang diharapkan memiliki keunggulan kompetitif dan dapat diekspor. Implikasi selanjutnya yang diharapkan adalah meningkatnya tingkat pendapatan nasional (GNP). Padahal GNP merupakan indeks kesejahteraan dan pembangunan nasional yang tidak tepat (Todaro, 1995: 168). Sehingga seringkali terjadi pertentangan dalam perumusan kebijakan pembangunan, antara penekanan prioritas pada pertumbuhan ataukah pada pemerataan.
Prioritas pertumbuhan memang berhsil meningkatkan tingkat pendapatan nasional (GNP), karena pertumbuhan biasanya berkaitan dengan modernisasi. Berarti penekanan pada peranan teknologi tinggi dan alat yang padat modal. Namun disadari bahwa tingginya GNP tidak menggambarkan kenaikan pendapatan penduduk secara agregat, sementara pembangunan ekonomi yang memperbesar pertumbuhan dulu baru membagikannya ternyata tidak bisa menutupi jurang sosial antara si kaya dan si miskin. Sedangkan prioritas pada pemerataan membawa konsekuensi pengorbanan bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, meskipun tidak bisa dikatakan angka pertumbuhan itu stagnan.
Kebijakan pembangunan yang mengarah pada pertumbuhan dan pemerataan memerlukan suasana yang stabil, karena stabilitas adalah syarat pokok bagi usaha pembangunan yang kontinyu. Stabilitas yang dinamis harus merupakan hasil dari pola pembangunan yang seimbang. Artinya, pembangunan yang senantiasa memelihara keseimbangan antara peningkatan produksi dengan laju yang cukup tinggi, dan pola pembagian hasil secara lebih merata (Prayitno dan Santosa, 1996:86). Karena dari dua aspek pertumbuhan dan pemerataan ini masing-masing memberikan andil besar bagi terselenggaranya kondisi stabilitas nasional yang mantap dan dinamis.
Sehingga untuk merealisasikannya diperlukan suatu pola kebijakan ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah dalam menanggulangi ketidakmerataan, sambil tetap mempertahankan dan atau meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut Todaro (1995: 175-179) menyebutkan ada empat kebijakan yang bisa menjadi pilihan kebijakan pemerintah yang menyangkut empat unsur penting, yaitu: 1) Distribusi fungsional, berarti terdapata upaya perubahan atas distribusi pendapatan fungsional melalui pola kebijakan untuk mengubah harga-harga faktor secara positif. Dari perubahan distribusi fungsional terdapat suatu pendekatan terhadap ekonomi tradisional. 2) Distribusi ukuran, berarti mengubah distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif pemilikan harta (asset). Dengan demikian, garis kebijakan kedua adalah secara langsung mengurangi terpusatnya penguasaan harta, pendistribusian kekuasaan yang tidak merata, dan juga memperluas pendidikan serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan. 3) pengurangan pendapatan golongan atas melalui pajak secara proporsional terhadap pendapatan dan kekayaan pribadi. Hal ini berarti adanya perubahan distribusi pendapatan golonagan atasa melalui
maka yang menjadi korban terbesar adalah kaum muslim. Angka kemiskinan yang terbesar tentunya disandang oleh kaum muslim. Sehingga sistem ekonomi alternatif yang dapat dijadikan solusi untuk mengembalikan dan selanjutnya memperkuat perekonomian nasional adalah sistem ekonomi yang berbasis syariah (Sistem Ekonomi Islam). Sistem ekonomi Islam yang dimaksud adalah sistem ekonomi yang terjadi setelah prinsip ekonomi yang menjadi pedoman kerjanya dipengaruhi atau dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam (Prawiranegara, Tanpa Tahun: 10-15).
Apalagi ditengah kontroversi mengenai pertumbuhan dan pemerataan di masa krisis seperti ini maka strategi baru yang lebih realistis dan berjangka panjang untuk meningkatkan kepercayaan ekonomi rakyat sebagai fundamen ekonomi nasional disamping tujuan untuk lebih memeratakan distribusi pendapatan dengan tetap memikirkan cara bagaimana untuk segera lepas dari krisis. Sementara sistem ekonomi Islam sendiri adalah sistem yang dinamik dan terus berkembang untuk didialogkan dan dicari formula strategiknya sebagai sistem ekonomi nasional. Seperti yang dikatakan oleh Dawam Raharjo (1989: 86) bahwa sistem ekonomi Islam bukan suatu pemikiran yang bersifat final, melainkan terus berkembang melalui kerja ijtihad. Sistem ekonomi Islam bukan suatu hal yang hanya bersifat teoritis, namun merupakan hasil suatu proses transformasi nilai-nilai Islam yang membentuk kerangka serta perangkat kelembangaan dan pranata ekonomi yang hidup dan berproses dalam kehidupan masyarakat.
Seperti yang diketahui bahwa salah satu penyebab semakin parahnya krisis ini adalah tumbuh suburnya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) semasa Orde Baru. Perilaku ini terjadi dikarenakan kurang transparannya berbagai kebijakan ekonomi serta model- model pembangunan ekonomi Orde Baru yang cenderung klientilistik, otoriter dan tidak demokratis, sedangkan sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang menganut prinsi- prinsip egalitarian, transparan, jujur dan bersih dari unsur-unsur tersebut. Penjelasan dan pembahasan mengenai sistem ekonomi Islam sendiri akan dibahas lebih lanjut dalam bab pembahasan.
Agar pembahasan yang diajukan tidak meluas dan untuk memudahkan analisa, maka perlu adanya pembatasan permasalahan. Bahwa permasalahan akan lebih difokuskan pada persoalan pola sistem ekonomi yang pernah dilaksanakan pada masa pemerintahan Orde Baru dan sistem ekonomi Islam sebagai sistem ekonomi alternatif.
Metode penelitian yang dipergunakan penulis dalam menyusun penulisan ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam
meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas pada masa sekarang (Nazir, 1988:63). dengan metode deskriptif ini penulis mencoba membuat satu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena-fenomena yang terjadi pada sistem ekonomi yang dijalankan selama pemerintahan Orde Baru dan mendeskripsikan kemungkinan dan peluang diterapkannya sistem skonomi Islam sebagai sistem ekonomi alternatif.
Pola pendekatan yang dilakukan dalam memecahkan permasalahan yakni dengan menggunakan desain deskriptif-analitis. Melalui pendekatan studi deskriptif-analisis ini penulis berkehendak memberikan satu gambaran tentang fenomena-fenomena yang terdapat di seputar fokus permasalahan dengan diikuti satu analisa-analisa dengan tujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa yang ada dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam tentang hubungan-hubungan dari fenomena yang terjadi (Nazir, 1988:105)
Metode Focus Discussing Group (FGD) adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan diskusi-diskusi kelompok guna mencari berbagai informasi yang terkait dengan topik penulisan.
Metode studi kepustakaan adlah metode pengumpulan data dengan melihat, membaca dan menulis data-data dari literatur yang berkaitan dengan topik penulisan.
Proses dalam menganalisa data dilakukan penulis dengan menggunakan teknik diskusi-diskusi kelompok atau kajian kepustakaan terhadap informasi yang diperoleh baik dari kepustakaan, media cetak maupun elektronik. Informasi yang berkaitan dengan topik penulisan selanjutnya dikaji secara komprehensif. Melalui cara seperti ini dimunculkan satu bentuk kritikan ataupun saran yang bersifat umum terhadap inti permasalahan yang dianalisa. Dari saran dan kritik tersebut, akhirnya dapat diberikan suatu tawaran alternatif pemecahan dan sekaligus ditarik kesimpulan.
Penyusunan karya tulis ilmiah ini sepenuhnya mengambil data yang bersifat sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat tidak langsung baik berupa dokumen-dokumen maupun informasi lain.
pinjaman luar negeri. Implikasinya defisit transaksi berjalan yang semakin besar. Karena demikian strukturnya, sistem anggaran ini memiliki pengaruh luar biasa terhadap perekonomian dalam negeri sekaligus dapat mencerminkan akibat yang timbul jika ada guncangan dari luar.
Dinaikkannya tingkat suku bunga bank menjadi 6-9% sebulan dan tingkat penalti untuk kredit yang menunggak, sebagai bagian dari tahap stabilisasi memberikan sejumlah masalah yang terjadi pada awal 1970-an. Diantaranya banyak industri kecil dan menengah kolaps dan gulung tikar, karena besarnya beban bunga yang harus ditanggung, disusul pengangguran dan gangguan-gangguan sosial di perkotaan ditambah dengan persoalan etnis Cina, warisan Orde Lama yang belum terselesaikan secara tuntas, yang semakin lama semkain memburuk. Masalah ini berpuncak pada meletusnnnya peristiwa Malari 1974 dimana gerakan anti investasi asing meluap sedemikian besar. Permasalahan ini merupakan mata rantai dari implikasi kebijakan liberal yang berorientasi keluar yang selanjutnya memaksa pemerintah mengubah strategi pembangunannya.
Selama satu dekade berikutnya, yaitu periode 1973-1983, strategi pembangunan berbalik arah sebagai akibat logis diterapkannya industrialisasi substitusi impor (Import Substitution Industrialize atau ISI). Hal ini ditandai dengan adanya tiga ciri kebijakan pemerintah, yakni pertama pengaturan penanaman modal asing yang makin restriktif. Kedua , kebijakan industri dan perdagangan yang lebih proteksionis dan ketiga strategi kebijakan pada umumnya pada umumnya bertambah intervensionistik. Dari tiga ciri ini jelas terlihat adanya perubahan darai pola liberal ke arah pola nasionalisasi yang semakin diperkuat oleh topangan boom minyak pada tahun 1970-an.
Orientasi ke dalam yang diterapkan sebagai pengganti orientasi liberal ditindaklanjuti dengan dibentuknya Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional, sebagai dampak dari peristiwa Malari 1974. Kebijakan sistem ekonomi nasionalistis yang diberlakukan oleh para supra kabinet ini diantaranya (Kuntjoro-Jakti (1981) dalam Zaim Saidi, 1998: 78) adalah pertama , kebijakan investasi asing menjadi jauh semakin restriktif dan harus dalam bentuk joint venture serta penyertaan nasional harus ditingkatkan. Disamping itu, daftar sektor-sektor yang tertutup bagi investasi asing diperpanjang, insentif pajak dikurangi dengan jumlah tenaga kerja asing dibatasi. Bukti yang nampak adalah semakinbesranya penyertaan modal pemerintah , dari US$ 263 juta pada tahun 1975 menjadi US$ 595 juta pada 1983. Kedua , pemerintah meluncurkan sejumlah program kredit bagi pegusaha pribumi yang didanai melalui APBN. Ketiga, pemerintah menerapkan tindakan-tindakan protektif terhadap sektor industri kecil melalui Proyek Bimbingan dan Pengembangan Industri Kecil (BPIK).
Dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pada masa tersebut jelas terlihat bahwa tonggak penting dari adnya boom minyak adalah bangkitnya kaum nasionalis dan patrimonalis. Dimana kendali negara (pemerintah )sangat dominan terhadap sistem ekonomi Indonesia, menggantikan sistem berbasis pasar yang didukung oleh kaum teknokrat pada masa sebelumnya Dari sini terjadi pertentangan antara sistem ekonomi liberal berbasis pasar dengan sistem ekonomi nasionalistis.
Keunggulan komparatif berbasis pasar yang diajukan oleh kaum teknokrat dianggap tidak menjanjikan banyak kecuali ditpang oleh pertumbuhan ekonomi tinggi dalm tempo sekejap melalui integrasi dengan psar internasional. Sementara keunggulan kompetitif yang diajukan kelompok nasionalis (merkantilistik) dapat dicapai melalui transformasi industri berbasis teknologi tinggi ( hitech ) dan padatmodal sehingga bentuk-bentuk proteksi dan fasilitas dari pemerintah sangat dibutuhkan. Hal ini secara sekilas mirip dengan keunggulan kompetitifnya Michael Porter (1990), dimana keunggulan kompetitif tidak didasarkan atas karunia alam tetapi harus diciptakan. Namun ada sedikit perbedaan dimana menurut Porter peran negara adalah terbatas untuk menciptakan iklim dan lingkungan yang kondusif, sedangkan kelompok merkantilistik (nasionalis) memandang bahwa pelaku utama haruslah negara. Berbagai program pembangunan yang bersifat protektif dan fasilitatif di satu sisi memeberikan perlindungan bagi perekonomian nasional, tapi di sisi lain memnuculkan efek negatif, seperti rasa kecemburuan bagi pelaku-pelaku ekonomi yang tidak memperoleh perlakuan protektif, munculnya monopoli atas sumber ekonomi yang menguasai hidup orang banyak, seperti Bulog dan Pertamina, serta berkembangnya praktek nepotisme, korupsi dan kolusi..
Berbagai fasilitas dan proteksi pemerintah serta berbagai instrumen peraturan yang menguntungkan pelaku ekonomi dalam negeri (lokal pribumi) telah membantu terciptanya kelas pengusaha karbitan yang tumbuh atas dasr sistem clientele atau patron-klien yang memiliki kekuatan dalam kekuatan dalam ikut menetukan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional.
Terpuruknya perekonomian nasional akibat krisis memang disebabkan banyak faktor, diantaranya adalh kuatnya intervensi negara atau dalam sistem politik yang tidak demokratis, telah mengahasilkan “kegagalan pemerintah” atau government failure (Saidi, 1998:171 ) dalam bentuk praktik KKN, disamping papola kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik yang menyebabkanfundamen perekonomian nasional menjadi keropos. Sistem politik korporatis yang diterapkan pemerintah orde baru telah menyuburkan praktik ekonomi yang klientelistik, tidak transparan dan manipulatif. Sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah memeriksa kembali asmsi dasar perekonoian yang selama ini kita percayai dan
Tabel 4. Perbandingan Ekonomi Islam dengan aliran Kapitalis dan Marxis
Segi Pembanding Konsep Islam Konsep Kapitalis Konsep Marxis
Filsafat Ekonomi Berasal konsep tauhid berasas laissez faire berasas pada konsep yang menguatkan Tuhan yang memberi perjuangan kelas yang sebagai puncak dari kebebasan penuh menegaskan peran segala hukum kausalitas kepada manusia dalam Tuha sebagai kausa memenuhi kebutuhan prima kehidupan meterialistiknya Nilai Dasar Kebebasan terbatas hak milik individu Hak milik ada pada Ekonomi terhadap pemilikan adalah absolut, adanya kaum proletar yang (ownership) harta ke- kebebasan memasuki diwakili oleh pemerin- kayaan dan sumber- semua sektor kegiatan tah diktator, sentralistik sumber ekonomi, ekonomi dan transaksi dan mematikan krea- Nilai keseimbangan menurut persaingan tivitas ekonomi rakyat, ( equilibrium ), bebas dan norma indi- pendapatan dan distri- Nilai Keadilan ( justice ). vidu ditarik dari indi- busi kolektif adalah hal vidualime dan utilita- utama dan hubungan rianisme. ekonomi di luar negara sengat dibatasi. Nilai Instrumen Konsep zakat Terletak pada persai- Perencanaan sentralistik Ekonomi larangan riba (bunga) ngan sempurna dan melalui proses iterasi kerjasama ekonomi kebebasan keluar masuk yang mekanistis, ( cooperation atau tanpa restriksi, Pasar Pemilikan kaum syirkah ), jaminan yang monopolistis, proletar thd. faktor Sosial, Peran negara Informasi dan bentuk produksi secara kolektif (lembaga pengawasan pasar atomistis dari atau hisbah ) tiap unit ekonomi Sumber : A. M. Saefuddin, et.al (1998: 35-56)
Zakat adalah kewajiban berdasarkan syariat. Islam mewajibkanya atas setiap muslim yang sampai pada nisab zakat (Ahmadi dan Sitanggal, 1980:110). Nisab adalah batas minimal dari harta mulai wajib dikeluarkan dari padanya. Sebenarnya zakat memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, dan berpengaruh nyata pada yingkah laku konsumsi. Menurut A.M Saefudin (dalam Sasono et al, 1998: 46), pengaruh zakat terhadap aspek sosial ekonomi adalah memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas karena ketajaman perbedaan pendapatan. Selain itu, pelaksanaan zakat oleh negara akan menunjang terbentuknya keadaan ekonomi yang stabil, yakni peningkatan produktifitas yang dibarengi dengan pemerataan pendapatan serta peningkatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Zakat merupakan satu bentuk jaminan sosial seperti yang dikatakan oleh Todaro (1995) yang dimbilkan dari pendapatan golongan atas secara proporsional (melalui mekanisme nisbah zakat) lewat kebijakan penarikan pajak progresif atas kekayaan dan pendapatan.
Banyak pakar ekonomi yang berkeyakinan bahwa krisis ekonomi dewasa ini disebabkan oleh sistem riba (bunga), padahal Islam secara jelas melarang adanya praktek riba atau pembungaan uang. Karena hakikatnya adalah suatu penolakan terhadapa resiko finansial tambahan yuang ditetapkan dalam transaksi uanga atau modal maupun jual beli yang dibebeankan pada satu pihak saja, sedangkan pihak lainnya dijamin keuntungannya (A.M saefudin, et al., 1998: 47). Yang termasuk dalam praktek riba adalah bunag pinjaman uang, modal, dan barang dalam segala bentuk dan macamnya, baik untuk tujuan produktif dan konsumtif, dengan tingkat bunga tinggi atau rendah, dan dalam jangka waktu panjang maupun pendek.
Maka sistem bunga yang cenderung tidak adil dan bersifat pemerasan tersebut harus diganti dengan sistem yang mutualistik, yakni konsep sistem bagi hasil. Prinsip ini pada dasarnya adalaha penentuan proporsi berbagi keuntungan pada saat akad (perjanjian) dilakukan yang pelaksanaannya terjadi pada saat untung itu telah ada dan telah kelihatan menurut proporsi yang telah disepakati (PINBUK, tt: 15-16).
Tabel 4. Perbandingan antara Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil
Sistem Bunga Sistem Bagi Hasil
Meski tidak berarti menurunkan tingkat pertumbuhan namun untuk masa yang lebih dekat, mengurangi angka kemiskinan yang semakin besar akibat krisis adalah hal yang urgen, sehingga kebijakan ini bisa menjadi pilihan yang utama.
Namun faktor pendukung yang paling utama dalam melakukan reformasi ekonomi ini adalah adanya kemauan kuat ( political will ) dari pemerintah dalam melaksanakannya. Nelson (1990) (dalam Saidi, 1998: 36) menyebutkan bahwa salah satu variabel yang dijadikan pertimbangan terhadap pelaksanaan reformasi adlah pola kepemimpinan. Kemauan politik dan kepemimpinan dianggap penting untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan program reformasi.
Hipotesa Nelson meyebutkan bahwa semakin parah tingkat krisis suatu ekonomi maka semakin besar kemungkinan dilaksanakannya program reformasi yang berskala luas. Dengan melihat kondisi krisis ekonomi Indonesia yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda segera pulih memberi kesimpulan bahwa reformasi ekonomi secara radikal dan berskala luas memang dibutuhkan. Besarnya tanggungan hutang kuar negeeri beserta bungany, sebesar US$ 137, 42 milyar (terdiri atas US$ 63, 46 milyar hutang pemerintah, dan US$ 73, 96 milyar hutang swasta) (lihat Abadi, Desember 1998: 10) memberikan implikasi yang sangat berat bagi bangkitnya perekonomian tanah air, belum lagi tambahan pinjaman IMF sebesar US$ 43 milyar hasil Letter of Intent untuk program pemulihan ekonomi. Melaksanakan semua resep IMF-plus yang tertuang dalam Letter of Intent adalah suatu keniscayaan yang mesti dituruti, meskipun kita harus mencoba membuat resep sendiri yang sesuai dengan kondisi sosio-kultural ekonomi masyarakat Indonesia.
Startegi yang mungkin bisa diterapkan adalah secara bertingkat atau berjenjang. Maksudnya dalam jangka pendek, menciptakan peluang-peluang kerja baru ditengah krisis dalam rangka mengurangi kemiskinan akibat pengangguran adalah hal mendesak. Sektor informal dan usaha kecil menjadi pilihan utama dalam membuka peluang baru, karena sektor inilah yang terbukti palinga kuat dalam menghadapi guncangan ekonomi akibat krisis. Pengguanaan pinjaman dari IMF-plus harus dilakukan secara hati-hati dan tepat sasaran agar efektifitas penggunaan dana dapat tercapai dan benar-benar untuk sektor informal dan usaha kecil.
Langkah selanjutnya adlah secar aperlahan merubah dan merekonstruksi paradigma perbankan konvensional dan sistem bunganya dengan perbankan syariah yang menggunakan sistem bagi hasil. Selain itu harus diberlakukan sistem perngakta hukum yang kuat dan perngawasan perbankan yang ketat. Segala program rehabilitasi dan stabilisai hasil ramuan IMF, meskipun terasa pahit harus dilaksanakan sampai keadaan perekonomian
menunjukkan tren kestabilan, yang ditandai dengan naiknya tingkat pertumbuhan ke arah positif. Hasil analisis CSIS (lihat Kompas, Maret 1999: 1) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi diperkirakan baru mencapai titik terendah (2, 0%) mulai awal tahun 2000, dan selanjutnya meningkat menjadi 4,0% pada tahun 2001; 5,0% pada tahun 2002; 6,0% pada tahun 2003; dan baru 7,0% pada tahun 2004. Perkiraan ini merupakan perkiraan ekonomi yang sangat optimis karena masih harus melewati variabel penentu lain berupa Pemilu Juni 1999.
Proses Pemilu 1999 merupakan prasyarat utama bagi stabilitas politik nasional yang selanjutnya membawa pengaruh dan implikasi mendasar bagi pulihnya perekonomian nasional. Karena dari Pemilu yang adil dan jujur akan dihasilkan struktur pemeeerintahan yang terlegitimasi oleh rakyat. Seperti yang dikatakatan oleh Nelson, bahwa variabel lain yang menentukan kesusksesan pelaksanaan reformasi adalah struktur dan susunan elit politik, yang bertautan erat dengan jenis rejim dan karakteristik khususnya. Disinilah letak kesungguhan political will pemerintah diuji, apakah proses reformasi itu dilaksanakan secara koheren atau sepotong-potong.
Dalam kondisi perekonomian yang stabil, sistem ekonomi Islam sangat mungkin untuk diterapkan karena pemerataan distribusi pendapatan dinggap lebih menjanjikan daripada sistem kapitalis dan sosialis. Sehingga untuk jangka panjang, dengan asumsi Pemilu 1999 sukses dan ada political will dari pemerintah untuk mempertimbangkan sistem ekonomi Islam, maka sitem ini menjanjikan kehidupan perekonomian yang jujur, adil dan merata sesuai dengan amanah pasal 33 UUD 1945. Sistem ekonomi Islam mengandung nilai-nilai; bekerja menurut aksioma dasar dan instrumental dalam mengelola ekonomi berdasar Qur’an dan Hadist; bersifat dinamis menurut dimensi ruang dan waktu, karena Islam adalah rahmatan lil alamin (untuk seluruh alam, bukan hanya umat Islam).
Dari penjelasan dan pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa macam kesimpulan sebagai berikut: