Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

Leadership and corporate culture, Schemes and Mind Maps of Strategic Management

Budaya korporat perusahaan tercermin dalam karakter atau kepribadian lingkungan kerjanya. Fondasi budaya korporat perusahaan hampir selalu terletak pada dedikasinya terhadap nilai-nilai inti tertentu dan batasan yang ditetapkannya untuk perilaku etis. Budaya jauh dari statis, sama seperti strategi dan struktur organisasi, budaya perusahaan juga mengalami perkembangan. Bukan suatu hal yang aneh bagi suatu perusahaan untuk memiliki banyak budaya (subkultur). Budaya perusahaan sangat bervariasi dalam hal kekuatan dan pengaruhnya, seperti budaya yang tertanam kuat dan memiliki pengaruh besar serta budaya yang tertanam lemah dan memiliki pengaruh kecil terhadap perusahaan. Budaya perusahaan penting untuk proses eksekusi strategi. Budaya yang sehat dapat membantu proses eksekusi strategi dengan baik, sedangkan budaya yang tidak sehat menjadi penghambat proses eksekusi strategi yang baik.

Typology: Schemes and Mind Maps

2020/2021

Uploaded on 06/08/2023

ria-vallentina-setyaningsih
ria-vallentina-setyaningsih 🇮🇩

1 document

1 / 22

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
MAKALAH
KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA KORPORAT
Disusun Oleh:
1. Hana Lailatul Faizah (C1C021027)
2. Jihan Dwi Saputri (C1C021038)
3. Anisa Amelia (C1C021048)
4. Weka Widyadhana K. (C1C021058)
5. Luthfiyyatul Azzah (C1C021090)
PROGRAM STUDI S-1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2023
pf3
pf4
pf5
pf8
pf9
pfa
pfd
pfe
pff
pf12
pf13
pf14
pf15
pf16

Partial preview of the text

Download Leadership and corporate culture and more Schemes and Mind Maps Strategic Management in PDF only on Docsity!

MAKALAH

KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA KORPORAT

Disusun Oleh:

  1. Hana Lailatul Faizah (C1C021027)
  2. Jihan Dwi Saputri (C1C021038)
  3. Anisa Amelia (C1C021048)
  4. Weka Widyadhana K. (C1C021058)
  5. Luthfiyyatul Azzah (C1C021090) PROGRAM STUDI S-1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Kepemimpinan dan Budaya Korporat” sesuai dengan yang direncanakan. Sesuai dengan judulnya, makalah ini dimaksud untuk digunakan sebagai pegangan dalam memahami dan mengetahui materi seputar kepemimpinan dan budaya korporat. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Stratejik dengan dosen pengampu Dr. Eliada Herwiyanti, S.E., M.Si, Ak,. CA. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang pentingnya manajemen strategik dalam mencapai keberhasilan organisasi, dengan penekanan khusus pada peran kepemimpinan dan budaya korporat dalam proses tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan membahas berbagai aspek yang terkait dengan kepemimpinan dan budaya korporat. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini. Purwokerto, 03 Juni 2023 Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Budaya perusahaan merupakan produk dari nilai yang dianut, standar tentang apa yang dapat diterima dan yang tidak, dan tradisi perusahaan. Setiap perusahaan memiliki budaya perusahaannya sendiri yang unik seperti nilai bersama, sikap yang tertanam, tradisi perusahaan, praktik kerja yang diterima dan gaya operasi. Budaya perusahaan sangat penting karena dapat mempengaruhi tindakan dan pendekatan organisasi untuk menjalankan bisnisnya. Maka dari itu, budaya perusahaan memainkan peran penting dalam pelaksanaan strategi dan bisa juga memiliki efek yang cukup besar pada kinerja bisnis suatu organisasi. Meskipun setiap perusahaan memiliki budaya yang unik tetapi budaya setiap perusahaan memiliki fitur utama dalam membentuk budaya tersebut. Budaya yang terbentuk oleh perusahaan tersebut dapat berupa budaya yang kuat dan bisa juga menghasilkan budaya yang lemah. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai pentingnya suatu budaya perusahaan perlu diketahui oleh pihak eksekutif, manajer, maupun karyawan untuk proses eksekusi strategi. Budaya yang tidak sehat juga kemungkinan akan muncul pada suatu perusahaan sehingga perusahaan perlu mengatasinya dengan mengubah budaya yang dapat menimbulkan masalah. Dalam tulisan ini, kami akan menjelaskan tentang fitur utama budaya perusahaan, budaya perusahaan yang kuat dan lemah, alasan budaya perusahaan penting untuk proses eksekusi strategi, budaya yang sehat dan tidak sehat, serta mengubah budaya masalah. B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana fitur utama budaya perusahaan
  2. Bagaimana budaya perusahaan yang kuat dan lemah
  3. Bagaimana pentingnya suatu budaya perusahaan untuk proses eksekusi strategi
  4. Bagaimana budaya perusahaan yang sehat dan tidak sehat
  5. Bagaimana mengubah budaya masalah

C. Tujuan

  1. Untuk mengetahui fitur utama budaya perusahaan
  2. Untuk mengetahui budaya perusahaan yang kuat dan lemah
  3. Untuk mengetahui pentingnya suatu budaya perusahaan untuk proses eksekusi strategi
  4. Untuk mengetahui budaya perusahaan yang sehat dan tidak sehat
  5. Untuk mengetahui bagaimana mengubah budaya masalah

● Cara perusahaan berurusan dengan pemangku kepentingan eksternal, apakah memperlakukan pemasok sebagai mitra bisnis atau lebih memilih pengaturan bisnis yang tegas dan bersahaja

  1. Peran Nilai Inti dan Etika Fondasi budaya korporat perusahaan hampir selalu terletak pada dedikasinya terhadap nilai-nilai inti tertentu dan batasan yang ditetapkannya untuk perilaku etis. Hal ini menjelaskan mengapa begitu banyak perusahaan yang telah mengembangkan nilai formal dan kode etik. Banyak eksekutif menginginkan iklim kerja di perusahaan mereka mencerminkan nilai-nilai dan standar etika tertentu. Mereka yakin bahwa kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak positif seperti mendorong pelaksanaan strategi yang lebih baik, membuat perusahaan berkinerja lebih baik, dan berdampak positif pada reputasi perusahaan. Nilai-nilai yang tertanam kuat dan adanya standar etika dapat mengurangi kemungkinan penyimpangan dalam perilaku etis yang merusak citra publik perusahaan dan membahayakan kinerja keuangan dan posisi pasarnya. Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa nilai inti dan prinsip etika perusahaan memiliki dua peran dalam proses pembangunan budaya. Pertama, sebuah perusahaan yang bekerja keras dalam mempraktekkan nilai-nilai inti dan prinsip- prinsip etikanya akan menumbuhkan iklim kerja dimana karyawan perusahaan memiliki keyakinan yang sama kuatnya tentang bagaimana bisnis perusahaan akan dijalankan. Kedua, nilai-nilai yang dinyatakan dan prinsip-prinsip etika memberi

panduan kepada personel perusahaan tentang cara mereka melakukan pekerjaan mereka, perilaku dan cara melakukan sesuatu mana yang disetujui dan mana yang di luar batas.

  1. Kekuatan yang Menyebabkan Budaya Perusahaan Berkembang Budaya jauh dari statis, sama seperti strategi dan struktur organisasi, budaya perusahaan juga mengalami perkembangan. Tantangan baru di pasar, teknologi revolusioner, dan pergeseran kondisi internal terutama krisis internal, perubahan arah perusahaan, atau pergantian eksekutif cenderung melahirkan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu dan akhirnya mendorong evolusi budaya. CEO yang memutuskan untuk mengguncang bisnis yang ada dan membawanya ke arah yang baru sering memicu pergeseran budaya. Demikian pula, diversifikasi ke dalam usaha baru, ekspansi ke luar negeri, pertumbuhan pesat yang membawa masuk karyawan baru, dan penggabungan atau akuisisi perusahaan lain semuanya dapat mendahului perubahan budaya yang signifikan.
  2. Kehadiran subkultur perusahaan Bukan suatu hal yang aneh bagi suatu perusahaan untuk memiliki banyak budaya (subkultur). Nilai, keyakinan, dan praktik di dalam perusahaan terkadang sangat bervariasi yang berdasarkan departemen, lokasi geografis, divisi, atau unit bisnis. Subkultur ini bisa ada karena sebuah perusahaan baru saja mengakuisisi perusahaan lain. Terutama pada perusahaan global dan multinasional yang cenderung memiliki multikultural karena adanya unit organisasi lintas negara yang memiliki sejarah operasi dan iklim kerja yang berbeda, serta anggota yang berbicara bahasa yang berbeda, tumbuh di bawah adat dan tradisi sosial yang berbeda, dan memiliki budaya yang berbeda, dan seperangkat nilai dan keyakinan yang berbeda. Suatu masalah bisa saja terjadi dalam subkultural ini yaitu budaya mereka dapat berbenturan atau setidaknya tidak menyatu dengan baik, terutama jika mereka memiliki filosofi bisnis atau pendekatan operasi yang bertentangan. Meskipun demikian, keberadaan subkultur tidak menghalangi area kesamaan dan kompatibilitas yang penting. Manajemen perusahaan harus waspada terhadap

strategi atau karena cocok dengan strategi yang berkembang. Budaya yang tertanam kuat sangat membantu pelaksanaan strategi dengan memanfaatkan tradisi, keyakinan, nilai, dan norma perilaku untuk memobilisasi komitmen dalam melaksanakan strategi yang dipilih. Perusahaan Budaya Lemah Perusahaan dengan budaya lemah berbeda dengan perusahaan berbudaya kuat. Perusahaan berbudaya lemah tidak memiliki nilai, prinsip, dan norma perilaku yang dianut secara luas dan dipegang teguh. Akibatnya mereka tidak memiliki mekanisme budaya untuk menyelaraskan, membatasi, dan mengatur tindakan, keputusan, dan perilaku personil perusahaan. Tanpa komitmen dari manajemen puncak terhadap nilai-nilai spesifik dan praktik operasi, hanya ada sedikit tekanan bagi karyawan untuk mengikuti cara-cara tertentu dalam melakukan sesuatu. Hal ini mengakibatkan iklim kerja di mana tidak ada kesetiaan karyawan yang kuat terhadap perusahaan atau tujuannya. Budaya yang lemah menawarkan sedikit atau bahkan tidak memberikan bantuan dalam pelaksanaan strategi karena tidak ada tradisi, kepercayaan, nilai, ikatan bersama, atau norma perilaku yang dapat digunakan oleh manajemen untuk memobilisasi komitmen dalam melaksanakan strategi yang dipilih. Manajer di perusahaan dengan budaya lemah mungkin perlu mengandalkan insentif kompensasi dan perangkat motivasi lainnya untuk memobilisasi komitmen karyawan dengan mengawasi dan memantau tindakan karyawan secara lebih dekat, atau mencoba membangun budaya organisasi. C. Mengapa Budaya Perusahaan Penting Untuk Proses Eksekusi Strategi Ketika budaya perusahaan saat ini mempromosikan sikap, perilaku, dan cara melakukan hal-hal yang selaras dengan strategi yang dipilih dan kondusif untuk pelaksanaan strategi tingkat pertama, budaya berfungsi sebagai sekutu yang berharga dalam proses pelaksanaan strategi. Sebuah budaya yang menjunjung tinggi inisiatif, menunjukkan kreativitas, mengambil risiko, dan merangkul perubahan kondusif untuk keberhasilan pelaksanaan inovasi produk dan strategi kepemimpinan teknologi. Budaya yang didasarkan pada tindakan, perilaku, dan praktik kerja yang kondusif untuk implementasi strategi yang baik mendukung upaya eksekusi strategi dalam tiga cara:

  1. Budaya yang cocok dengan strategi yang dipilih dan persyaratan upaya pelaksanaan strategi memusatkan perhatian karyawan pada apa yang paling

penting bagi upaya ini. Dengan cara ini, dapat menyelaraskan upaya dan keputusan karyawan di seluruh perusahaan dan meminimalkan kebutuhan akan pengawasan langsung.

  1. Tekanan teman sebaya yang dipicu oleh budaya selanjutnya mendorong personel perusahaan untuk melakukan hal-hal dengan cara yang membantu pelaksanaan strategi yang baik. Penelitian telah menunjukkan bahwa norma kelompok yang kuat dapat membentuk perilaku karyawan bahkan lebih kuat daripada insentif keuangan.
  2. Budaya perusahaan yang konsisten dengan persyaratan pelaksanaan strategi yang baik dapat memberi energi kepada karyawan, memperdalam komitmen mereka untuk melaksanakan strategi dengan sempurna, dan meningkatkan produktivitas pekerja dalam prosesnya. Keikutsertaan karyawan yang lebih besar untuk apa yang ingin dicapai perusahaan meningkatkan motivasi dan mengerahkan energi organisasi di balik dorongan untuk pelaksanaan strategi yang baik. Tenaga kerja yang bersemangat meningkatkan peluang untuk mencapai target kinerja yang sangat penting dan pelaksanaan strategi yang baik. Sebaliknya, ketika suatu budaya bertentangan dengan strategi yang dipilih atau apa yang diperlukan untuk menjalankan strategi perusahaan dengan baik, budaya tersebut menjadi batu sandungan. Beberapa perilaku yang sangat diperlukan untuk melaksanakan strategi berhasil bertentangan dengan sikap, perilaku, dan praktik operasi yang tertanam dalam budaya yang berlaku. Bentrokan seperti itu menimbulkan dilema nyata bagi personel perusahaan. Konsekuensi dari memiliki—atau tidak memiliki—budaya perusahaan yang mendukung pelaksanaan mengatakan sesuatu yang penting tentang tugas mengelola proses pelaksanaan strategi: Menyelaraskan budaya perusahaan dengan persyaratan untuk pelaksanaan strategi yang mahir membutuhkan perhatian penuh dari eksekutif senior. Tujuan pembangunan budaya adalah untuk menciptakan iklim kerja dan gaya operasi yang memobilisasi energi personel perusahaan tepat di belakang upaya untuk melaksanakan strategi secara kompeten. Semakin dalam manajemen dapat menanamkan cara-cara yang mendukung

perbaikan, dan menampilkan keterampilan untuk menerapkannya. Seperti dalam budaya kinerja tinggi, perusahaan menunjukkan pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi masalah, mengevaluasi implikasi dan opsi, dan bergerak maju dengan cepat dengan solusi yang dapat diterapkan. Strategi dan praktik operasi tradisional dimodifikasi seperlunya untuk menyesuaikan, atau memanfaatkan, perubahan dalam lingkungan bisnis. Mengapa budaya adaptif tidak runtuh dari kekuatan perubahan berkelanjutan dalam strategi, praktik operasi, dan norma perilaku? Jawabannya terletak pada dua ciri khas dan dominan dari budaya adaptif: (1) Perubahan dalam praktik dan perilaku operasi tidak boleh berkompromi dengan nilai-nilai inti dan prinsip bisnis lama (karena merupakan akar dari budaya), dan ( ) perubahan yang dilembagakan harus memenuhi kepentingan yang sah dari konstituen utama—pelanggan, karyawan, pemegang saham, pemasok, dan komunitas tempat perusahaan beroperasi. Dengan kata lain, apa yang menopang budaya adaptif adalah bahwa anggota organisasi menganggap perubahan yang coba dilembagakan oleh manajemen sebagai hal yang sah, sesuai dengan nilai-nilai inti, dan demi kepentingan terbaik pemangku kepentingan secara keseluruhan. E. Budaya Tidak Sehat yang Menghambat Eksekusi Strategi yang Baik Ciri khas budaya perusahaan yang tidak sehat adalah adanya ciri-ciri budaya kontraproduktif yang berdampak buruk terhadap iklim kerja dan kinerja perusahaan. Lima ciri budaya yang sangat tidak sehat adalah permusuhan terhadap perubahan, pengambilan keputusan yang sangat dipolitisasi, pemikiran picik, perilaku yang tidak etis dan didorong oleh keserakahan, dan adanya subkultur yang tidak sesuai dan berbenturan.

1. Budaya Tahan Perubahan Budaya tahan perubahan yaitu dimana rasa takut akan perubahan dan skeptisisme tentang pentingnya perkembangan baru adalah norma, seperti mengutamakan tidak membuat kesalahan, mendorong manajer untuk bersandar pada pilihan konservatif yang aman yang dimaksudkan untuk mempertahankan status quo, melindungi basis kekuatan mereka, dan menjaga kepentingan langsung mereka. Ketika perusahaan

seperti itu menghadapi lingkungan bisnis dengan perubahan yang semakin cepat dan mereka lambat dalam mengubah cara tradisional dalam melakukan sesuatu dapat menjadi tanggung jawab yang serius. Di bawah kondisi ini, budaya yang tahan terhadap perubahan mendorong sejumlah perilaku tidak sehat, seperti menghindari risiko, tidak memanfaatkan peluang yang muncul, mengambil pendekatan yang longgar baik untuk inovasi produk maupun perbaikan terus- menerus dalam melakukan aktivitas rantai nilai, dan merespons lebih lambat daripada yang diperlukan untuk perubahan pasar. Dalam budaya yang menolak perubahan, tersiar kabar dengan cepat bahwa proposal untuk melakukan sesuatu secara berbeda menghadapi perjuangan yang berat dan bahwa orang yang memperjuangkannya mungkin dipandang sebagai gangguan atau pembuat onar. Eksekutif yang tidak menghargai manajer atau karyawan dengan inisiatif dan ide- ide baru meredam inovasi produk, eksperimen, dan upaya peningkatan. Permusuhan terhadap perubahan paling sering ditemukan di perusahaan dengan birokrasi kolot yang telah menikmati kesuksesan pasar yang cukup besar di tahun- tahun sebelumnya dan yang menganut sindrom "Kami telah melakukannya dengan cara ini selama bertahun-tahun". General Motors, IBM, Sears, dan Eastman Kodak adalah contoh klasik perusahaan yang birokrasinya menolak perubahan dan telah merusak kedudukan pasar dan kinerja keuangan mereka. Mereka berpegang teguh pada apa yang membuat mereka sukses, mereka enggan mengubah praktik operasi dan memodifikasi pendekatan bisnis mereka ketika sinyal perubahan pasar pertama kali terdengar. Karena strategi perubahan bertahap menang atas inovasi yang berani, keempatnya kehilangan pangsa pasar karena pesaing yang dengan cepat bergerak untuk melembagakan perubahan yang lebih selaras dengan kondisi pasar yang berkembang dan preferensi pembeli. Sementara IBM dan GM telah mengambil langkah dalam membangun budaya yang dibutuhkan untuk kesuksesan pasar, Sears dan Kodak masih berjuang untuk memulihkan posisi yang hilang.

2. Budaya yang Dipolitisasi Apa yang membuat lingkungan internal yang terpolitisasi begitu tidak sehat adalah pertikaian politik yang menghabiskan banyak energi organisasi. Seringkali dengan hasil bahwa apa yang terbaik bagi perusahaan diambil alih dari manuver politiknya.

4. Budaya yang Tidak Etis dan Didorong oleh Keserakahan Perusahaan yang kurang memperhatikan standar etika atau dijalankan oleh eksekutif yang didorong oleh keserakahan dan pemuasan ego adalah skandal yang menunggu untuk terjadi. Para eksekutif memancarkan sisi negatif dari arogansi, ego, keserakahan, dan mentalitas “membenarkan tujuan” dalam mengejar target pendapatan dan profitabilitas yang terlalu ambisius. Manajer senior mengedipkan mata pada perilaku tidak etis dan mungkin melewati batas perilaku tidak etis (yang terkadang kriminal) itu sendiri. Mereka cenderung mengadopsi prinsip akuntansi yang membuat kinerja keuangan terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. Legiun perusahaan telah menjadi mangsa perilaku tidak etis dan keserakahan, terutama Turing Pharmaceuticals, Enron, Three Ocean Shipping, BP, AIG, Countrywide Financial, dan JPMorgan Chase, dengan eksekutif yang didakwa dan/atau dihukum karena perilaku kriminal. 5. Bentrokan Subkultur yang Tidak Kompatibel Subkultur perusahaan menjadi tidak sehat ketika menganut filosofi bisnis yang saling bertentangan, mendukung pendekatan yang tidak konsisten untuk pelaksanaan strategi, dan mendorong metode manajemen orang yang tidak kompatibel. Subkultur yang bentrok dapat mencegah perusahaan mengkoordinasikan upayanya untuk menyusun dan melaksanakan strategi dan dapat mengalihkan perhatian personel perusahaan dari bisnis ke bisnis. Perebutan internal di antara subkultur untuk dominasi budaya menghambat kerja tim di antara berbagai unit organisasi perusahaan dan menghalangi munculnya pendekatan kolaboratif untuk pelaksanaan strategi. Kurangnya konsensus tentang bagaimana lanjutan kemungkinan akan menghasilkan pendekatan yang terfragmentasi atau tidak konsisten untuk menerapkan inisiatif strategis baru dan keberhasilan yang terbatas dalam melaksanakan strategi keseluruhan perusahaan. F. Mengubah Budaya Masalah Mengubah budaya masalah adalah salah satu tugas terberat manajemen karena jangkar yang berat dari perilaku dan sikap yang tertanam. Dibutuhkan tindakan manajemen terpadu selama periode waktu tertentu untuk membasmi perilaku yang tidak diinginkan dan

mengganti budaya yang tidak mendukung dengan cara yang lebih efektif dalam melakukan sesuatu. Kekuasaan besar diperlukan untuk memaksa perubahan budaya besar dan mengatasi perlawanan keras kepala dari budaya yang mengakar dan kekuasaan besar hanya dimiliki oleh eksekutif paling senior, terutama CEO. Manajer menengah dan supervisor garis depan memainkan peran kunci dalam menerapkan praktik kerja baru dan pendekatan operasi, membantu memenangkan penerimaan dan dukungan untuk perubahan, dan menanamkan norma perilaku yang diinginkan.

  1. Membuat Kasus Menarik untuk Perubahan Budaya Hal ini dapat dilakukan dengan : ● Menjelaskan mengapa dan bagaimana perilaku dan praktik kerja tertentu dalam budaya saat ini ● Menjelaskan bagaimana perilaku dan praktik kerja baru akan lebih menguntungkan dan memberikan hasil yang lebih baik. ● Menyebutkan alasan mengapa strategi yang ada harus diubah. Agar upaya perubahan budaya berhasil, penyelia garis depan dan pemimpin opini karyawan harus memenangkan penyebabnya, yang berarti meyakinkan mereka tentang manfaat mempraktikkan dan menegakkan norma budaya di setiap tingkat organisasi, dari yang tertinggi hingga yang terendah.
  2. Tindakan Perubahan Budaya yang Substantif Tanda-tanda terkuat bahwa manajemen benar-benar berkomitmen untuk menanamkan budaya baru meliputi : ● Mengganti eksekutif kunci yang menolak atau menghalangi perubahan budaya yang diperlukan.

pelaksanaan strategi yang baik dan keunggulan operasi memerlukan tiga tindakan di pihak manajer yang bertugas :

  1. Tetap di atas apa yang terjadi dan memantau kemajuan dengan cermat.
  2. Menempatkan tekanan konstruktif pada organisasi untuk melaksanakan strategi dengan baik dan mencapai keunggulan operasi
  3. Memulai tindakan korektif untuk meningkatkan eksekusi strategi dan mencapai target hasil kinerja Management by walking around (MBWA) Adalah salah satu teknik yang digunakan pemimpin yang efektif untuk tetap mendapat informasi tentang seberapa baik strategi proses eksekusi yang sedang berlangsung. Memobilisasi Upaya untuk Keunggulan dalam Eksekusi Strategi :
  4. Memperlakukan karyawan sebagai mitra yang berharga
  5. Menumbuhkan semangat korps yang menyemangati anggota organisasi.
  6. Menggunakan pemberdayaan untuk membantu menciptakan tenaga kerja yang terlibat sepenuhnya
  7. Memelihara iklim kerja yang berorientasi pada hasil dan mengkomunikasikan dengan jelas harapan agar insan perusahaan memberikan yang terbaik dalam mencapai target kinerja.
  8. Menggunakan alat pembandingan, praktik terbaik, rekayasa ulang proses bisnis, TQM, dan Six Sigma untuk memusatkan perhatian pada peningkatan berkelanjutan
  9. Menggunakan berbagai teknik motivasi dan insentif kompensasi untuk menginspirasi personel perusahaan dan menghargai kinerja tinggi.
  10. Merayakan keberhasilan individu, kelompok, dan perusahaan. Memimpin Proses Pembuatan Penyesuaian Korektif Keberhasilan dalam membuat penyesuaian korektif bergantung pada : ● analisis situasi yang menyeluruh ● pelaksanaan penilaian bisnis yang baik dalam memutuskan tindakan apa yang akan diambil ● implementasi yang baik dari tindakan korektif yang dimulai. Proses membuat penyesuaian korektif dalam pelaksanaan strategi berbeda-beda sesuai dengan situasi. Proses yang dilalui manajer dalam memutuskan Penyesuaian korektif pada dasarnya sama

untuk perubahan proaktif dan reaktif. Mereka merasakan kebutuhan, mengumpulkan informasi, memperluas dan memperdalam pemahaman mereka tentang situasi, mengembangkan pilihan dan mengeksplorasi pro dan kontra mereka, mengajukan proposal tindakan, berjuang untuk konsensus, dan akhirnya secara formal mengadopsi tindakan yang disepakati.