Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

Kebijakan Makroprudensial, Study Guides, Projects, Research of Advanced Macroeconomics

Sumber dari BI Sharing untuk menambah pengetahuan

Typology: Study Guides, Projects, Research

2018/2019

Uploaded on 03/25/2019

ClaraVidya
ClaraVidya 🇩🇿

4

(1)

1 document

1 / 104

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
pf3
pf4
pf5
pf8
pf9
pfa
pfd
pfe
pff
pf12
pf13
pf14
pf15
pf16
pf17
pf18
pf19
pf1a
pf1b
pf1c
pf1d
pf1e
pf1f
pf20
pf21
pf22
pf23
pf24
pf25
pf26
pf27
pf28
pf29
pf2a
pf2b
pf2c
pf2d
pf2e
pf2f
pf30
pf31
pf32
pf33
pf34
pf35
pf36
pf37
pf38
pf39
pf3a
pf3b
pf3c
pf3d
pf3e
pf3f
pf40
pf41
pf42
pf43
pf44
pf45
pf46
pf47
pf48
pf49
pf4a
pf4b
pf4c
pf4d
pf4e
pf4f
pf50
pf51
pf52
pf53
pf54
pf55
pf56
pf57
pf58
pf59
pf5a
pf5b
pf5c
pf5d
pf5e
pf5f
pf60
pf61
pf62
pf63
pf64

Partial preview of the text

Download Kebijakan Makroprudensial and more Study Guides, Projects, Research Advanced Macroeconomics in PDF only on Docsity!

Penerbit:

Bank Indonesia Agustus 2016

Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada:

Bank Indonesia Departemen Kebijakan Makroprudensial Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia Email : BI-DKMP@bi.go.id

ii

Daftar Isi...................... ................................................................................ ii Prakata Gubernur Bank Indonesia ............................................................. iv Bab I. Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial?....................... 1 I.1. Pendahuluan ........................................................................... 1 I.2. Definisi dan Karakteristik Kebijakan Makroprudensial ......... 2 Boks 1.1. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai Perbankan? ..................................................... 8 BAB II. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? ..................... 13 II.1. Karakteristik Sistem Keuangan .............................................. 13 II.2. Kebijakan Makroprudensial Sebagai Komplemen Kebijakan Lain ......................................................................... 15 II.2.1 Kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial...... 15 II.2.2 Kebijakan Makroprudensial dan Moneter .................. 16 II.2.3 Kebijakan Makroprudensial dan Fiskal........................ 17 Boks 2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter dan Mikroprudensial ................... 19 Bab III. Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?............. 23 III.1. Mandat dan Kewenangan ...................................................... 23 III.2. Landasan Hukum .................................................................... 27 Boks 3.1. Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan ......................................................... 29 Bab IV. Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? ......................................................... 33 IV.1. Identifikasi Sumber Risiko Sistemik ....................................... 35 IV.2. Pengawasan Makroprudensial............................................... 37 IV.2.1. Monitoring dan Analisis Risiko Sistemik....................... 37 IV.2.2. Pemberian Sinyal Risiko ............................................... 40 IV.2.3 Pemeriksaan Tematik .................................................... 42 IV.3.Desain dan Implementasi Instrumen Kebijakan .................... 43

Daftar Isi

iii

IV.3.1. Motivasi Pengembangan Instrumen Makroprudensial .......................................................... 43 IV.3.2. Waktu Perumusan dan Implementasi Instrumen Makroprudensial .......................................................... 45 IV.3.3. Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia.. 46 Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional Financial Surveillance ..................................... 49 Boks 4.2. Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank dalam Menghadapi Tekanan ....................................... 52 Boks 4.3. Tidak Ada Lagi “ Too-Big-To-Fail ” .................................. 55 Boks 4.4. Countercyclical Capital Buffer : Solusi Redam Rugi ...... 60 Boks 4.5. Standar Internasional Pengaturan di Sektor Keuangan: Basel III....................................................... 63

Bab V. Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis ........................................................... 67 V.1. Dasar Hukum PMK ................................................................... 68 V.2. Peran PMK Bank Indonesia dalam Memelihara Stabilitas Sistem Keuangan .................................................................... 69 V.3. Koordinasi Antarlembaga dalam Pencegahan dan/atau Penanganan Krisis ................................................................... 71 V.4. Opsi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis.................................................................... 72 Boks 5.1. Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Global 2008 ... 75 Daftar Pustaka....................... ...................................................................... 79

Daftar Singkatan...................... ................................................................... 82

Daftar Istilah.................................... ............................................................ 84

Kontributor........................................... ....................................................... 94

v

kebijakan makroprudensial akan memegang peranan penting dalam efektivitas penerapan kebijakan makroprudensial tersebut, sehingga proses komunikasi mengenai kebijakan makroprudensial mulai dari hal yang paling mendasar perlu dilakukan.

Untuk mendukung proses komunikasi kebijakan makroprudensial tersebut, Bank Indonesia memandang perlu untuk menerbitkan buku yang mengupas berbagai hal yang terkait dengan kebijakan makroprudensial. Pada buku ini, bab I (pertama) hingga III (ketiga) menjelaskan mengenai apa dan bagaimana kebijakan makroprudensial, mengapa kebijakan itu diperlukan, dan siapa yang melaksanakan mandat kebijakan tersebut. Sedangkan, Bab IV (keempat) dan V (kelima) memaparkan mengenai strategi kebijakan makroprudensial di Bank Indonesia, serta bagaimana Bank Indonesia mencegah dan menangani krisis. Dua bab terakhir ini ditujukan kepada yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana Bank Indonesia menjalankan mandat di bidang makroprudensial, terutama dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. Buku ini juga dilengkapi dengan tulisan-tulisan pendek dalam boks untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik bagi pihak-pihak yang ingin mendalami isu atau aspek tertentu dalam kebijakan makroprudensial.

Akhir kata, kami berharap penerbitan buku ini dapat mendukung tercapainya kesamaan pandangan dan pemahaman mengenai kebijakan makroprudensial, sehingga dapat membantu peningkatan efektivitas pengendalian risiko sistemik dan ketidakseimbangan keuangan untuk mendorong terwujudnya stabilitas sistem keuangan. Saran, komentar maupun kritik dari seluruh pihak sangat kami harapkan untuk lebih menyempurnakan buku ini di masa mendatang.

Jakarta, Agustus 2016

(Agus D.W. Martowardojo)

Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial

1997/1998, yang ditandai dengan penyusunan kerangka stabilitas sistem keuangan Indonesia dan pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) di Bank Indonesia. Berdasarkan kerangka tersebut, Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia melalui dua pendekatan, yaitu mikroprudensial dan makroprudensial (BI, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2000, Bank Indonesia telah memerhatikan aspek makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Peran Bank Indonesia di bidang makroprudensial tertuang dalam Undang- Undang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejalan dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan bank (mikroprudensial) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejak tahun 2003, Bank Indonesia telah aktif mengomunikasikan hasil pemantauan ( surveillance ) atas stabilitas sistem keuangan secara semesteran. Hasil tersebut dituangkan dalam laporan yang dikenal dengan nama Kajian Stabilitas Keuangan (KSK). Dalam perjalanannya, kemampuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan telah diakui secara internasional seperti terlihat dari keberhasilan Bank Indonesia dalam memperoleh penghargaan sebagai “The Best Systemic and Prudential Regulator” pada acara The Asian Banker Annual Leadership Achievement Awards yang diselenggarakan pada 25 April 2012, di Bangkok. Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi atas kemampuan Bank Indonesia dalam mengarahkan industri perbankan Indonesia untuk menerapkan aturan berstandar internasional, serta kemampuan merespons gejolak perekonomian global pada saat krisis hingga mampu menghindari terjadinya risiko sistemik.

I.2. Definisi dan Karakteristik Kebijakan

Makroprudensial

Dalam penelitian yang dilakukan di BIS, Swiss, kebijakan makroprudensial didefinisikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik (Galati G., and Richhild M., 2011). Sementara European Systemic Risk Board

Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial

(ESRB), yaitu badan yang memiliki misi mengawasi sistem keuangan Eropa, serta mencegah dan membatasi terjadinya risiko sistemik di sistem keuangan Eropa, mendefinisikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan memperkuat ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik, sehingga memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi (ESRB, 2013). Penjelasan serupa disampaikan oleh IMF, yang mendefinisikan makroprudensial sebagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik (IMF, 2011).

Merujuk pada beberapa definisi di atas, setidaknya terdapat 3 (tiga) kalimat kunci untuk menggambarkan kebijakan makroprudensial, yakni diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan ( system-wide perspectives ), dan diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya ( build-up ) risiko sistemik. Secara sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi.

Menjaga stabilitas sistem keuangan merupakan tujuan yang dilakukan bersama antara beberapa otoritas. Dalam hal ini, terdapat lebih dari 1 (satu) otoritas yang memiliki kepentingan dalam mencapai stabilitas sistem keuangan. Yang membedakan adalah kewenangan masing- masing otoritas dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seperti bank sentral melalui kewenangan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran; pemerintah melalui kewenangan fiskal; dan otoritas pengawas industri jasa keuangan melalui kewenangan mikroprudensial. Dengan demikian, implementasi kebijakan makroprudensial sangat mungkin dilakukan melalui interaksi dengan kebijakan lain, terutama dengan kebijakan yang memiliki dampak pada sistem keuangan. Biasanya interaksi ini bersifat saling melengkapi sehingga menjadikan elemen sistem keuangan menjadi lebih berhati-hati ( prudent ). Melalui interaksi antarkebijakan ini,

Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial

sistemik dirumuskan sebagai kombinasi dari keadaan-keadaan yang mengancam stabilitas atau kepercayaan publik terhadap sistem keuangan; serta sebagai risiko instabilitas keuangan yang menyebar sehingga dapat melumpuhkan fungsi sistem keuangan pada titik yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat (Billio et all, 2010 dan ECB, 2010). Sementara pada PBI Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, risiko sistemik didefinisikan sebagai potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular ( contagion ) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran ( size ), kompleksitas usaha ( complexity ), keterkaitan antarinstitusi dan/ atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian ( procyclicality ).

Merujuk pada definisi risiko sistemik di atas, dapat disimpulkan 3 (tiga) hal berikut. Pertama, sumber risiko sistemik tidak harus berasal dari institusi keuangan, namun dapat berasal dari elemen sistem keuangan lainnya, seperti kegagalan korporasi atau permasalahan di sistem pembayaran, atau bahkan berasal dari gangguan ( shock ) di luar sistem keuangan. Kedua, keterkaitan ( interconnectedness ) di antara elemen sistem keuangan memunculkan potensi menularnya atau merambatnya risiko dari suatu elemen sistem keuangan kepada seluruh elemen sistem keuangan ( contagion effect ). Ketiga, potensi dampak yang ditimbulkan oleh risiko sistemik sangat luas, tidak hanya terbatas pada sektor keuangan, namun dapat mengganggu perekonomian. Dengan demikian, tujuan makroprudensial untuk meminimalkan risiko sistemik sesungguhnya merupakan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup seluruh elemen sistem keuangan dengan tetap memerhatikan kondisi makroekonomi (Baca Boks 1.1. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai Perbankan?).

Tiga hal tersebut di atas menunjukkan bahwa kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan bukan merupakan satu-satunya syarat untuk mengukur risiko sistemik dan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Secara lebih luas, kebijakan makroprudensial mengukur

Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial

risiko sistemik dari limpahan ( spillover ) dampak dan biaya yang ditimbulkan, termasuk interaksinya dengan makroekonomi. Lebih lanjut dalam penelitian di BIS dinyatakan bahwa dalam perspektif makroprudensial, meskipun semua institusi keuangan memiliki kinerja dan tingkat kesehatan yang baik, namun kondisi tersebut belum cukup untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan. Potensi risiko sistemik tetap dapat muncul apabila institusi keuangan menghadapi faktor risiko yang sama ( common risk factor ), antara lain akibat pemusatan risiko pada portofolio yang sama ( concentration risk ). Sementara itu, kinerja dan tingkat kesehatan setiap institusi keuangan tidak lagi menjadi syarat perlu apabila kegagalan atau risiko pada satu atau beberapa institusi keuangan tidak menimbulkan dampak yang signifikan (sistemik) terhadap sistem keuangan. Dengan penjelasan tersebut, kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan tidak lagi menjadi syarat “cukup” dan “perlu” bagi makroprudensial dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan (Borio, 2009). Berangkat dari konsep tersebut, guna meminimalkan risiko sistemik dalam cakupan makroprudensial, terdapat 2 (dua) dimensi yang menjadi menjadi acuan dalam proses identifikasi risiko dan perumusan kebijakan, yakni dimensi antarsubjek ( cross section ) yang berfokus pada perbedaan perilaku antarelemen dan agen keuangan, serta dimensi runtun waktu ( time series ) yang berfokus pada dinamika perilaku elemen/agen keuangan dari waktu ke waktu. Hal ini berbeda dengan kebijakan mikroprudensial yang cenderung hanya fokus pada dimensi antarsubjek ( cross section ), atau kebijakan moneter yang cenderung hanya fokus pada dimensi runtun waktu ( time series ). Secara lebih detail, dimensi antarsubjek ( cross section ) menekankan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu periode tertentu, yang disebabkan oleh terpusatnya portofolio pada eksposur tertentu ( concentration risk ) atau adanya kesamaan eksposur ( common risk factor ), sehingga potensi menyebarnya risiko antarindividu/sektor ( contagion risk ) menjadi tinggi. Akibatnya, permasalahan yang terjadi di satu institusi dapat berakibat negatif pada institusi lainnya baik melalui saluran langsung maupun tidak langsung. Sedangkan, dimensi runtun waktu ( time

Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial

Jika seseorang punya kepastian pendapatan dalam jangka panjang, misalnya dalam bentuk pendapatan atau gaji bulanan, maka kebutuhan yang terpikir olehnya terlebih dahulu selain sandang dan pangan, umumnya adalah papan (atau properti). Perumahan adalah kebutuhan dasar manusia. Namun pada saat yang sama, properti juga adalah salah satu bentuk investasi yang disukai masyarakat, karena kecenderungan harganya selalu meningkat, terutama yang berlokasi di kota besar. Jika perekonomian sedang baik, dan kepastian usaha membaik, permintaan terhadap properti biasanya meningkat, baik untuk perumahan maupun untuk keperluan komersial. Apabila permintaan ( demand ) properti naik hingga menjadi lebih tinggi dari ketersediaannya ( supply ), maka harga properti meningkat. Kecenderungan peningkatan harga ini, menjadikan properti investasi yang menarik bagi masyarakat karena sudah pasti bertambah nilainya di masa depan sehingga memberikan imbal hasil yang baik. Akibatnya harga properti akan semakin terdorong untuk naik. Masih ingat dengan krisis keuangan global 2008 yang diawali dengan permasalahan sektor keuangan di Amerika Serikat? Krisis tersebut didahului dengan fenomena yang sama, yakni tren peningkatan harga properti. Pada saat kondisi perekonomian baik, biasanya ditunjang dengan kondisi tingkat bunga yang relatif rendah, sehingga dana untuk pinjaman pun menjadi lebih mudah diperoleh. Ditambah lagi, kemudahan memperoleh pinjaman dapat memfasilitasi spekulasi terhadap aset properti yang dibiayai melalui kredit. Kondisi ini mendorong peningkatan harga properti. Bagi bank sendiri, pemberian kredit pada sektor properti yang sedang mengalami tren kenaikan harga, dinilai cukup menguntungkan sehingga ekspansi kredit pada sektor properti pun terjadi. Bila pemberian kredit ini tidak diimbangi dengan aturan prudensial yang memadai, sangat mungkin ekspansi

Boks 1.1.

Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai Perbankan?

Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial

kredit properti tersebut akan diikuti dengan peningkatan angka non performing loan (NPL), yakni memburuknya kualitas kredit.

Kondisi-kondisi di atas dapat menyebabkan peningkatan harga properti yang tidak wajar, atau yang kemudian disebut bubble (penggelembungan harga). Bubble merupakan kondisi di mana harga aset sudah tidak merepresentasikan harga fundamentalnya, yaitu untuk properti biasanya mencakup harga tanah, ongkos pembangunan, dan margin keuntungan pengembang. Apakah risiko dari membiarkan bubble terjadi? Harga properti yang tidak sesuai dengan fundamental menyebabkan nilai agunan untuk kredit pemilikan properti menjadi jauh di bawah nilai pinjaman. Sementara itu, pada saat perekonomian menurun dan kepastian pendapatan hilang, kemampuan masyarakat untuk pengembalian kredit menjadi tersendat sehingga kinerja kredit pun memburuk. Nilai agunannya tidak dapat menutupi kerugian dari kegagalan kreditnya. Terlebih jika NPL kredit properti semakin meningkat, maka akan ada banyak aset properti yang dijual untuk menutup kerugian sehingga harganya makin menurun. Dengan kata lain, gelembung pun pecah ( bubble burst ). Semakin tinggi tingkat konsentrasi kredit pada sektor properti, akan semakin luas dampak yang ditimbulkan, termasuk meningkatkan risiko sistemik. Penurunan harga properti tersebut akan mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas, sehingga sulit menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya. Akibatnya terjadi instabilitas di sistem keuangan.

Guna mengantisipasi terjadinya fenomena di atas, diperlukan suatu kebijakan yang mampu meredam akumulasi risiko yang timbul akibat tindakan spekulasi dan tingginya tingkat konsentrasi kredit pada sektor properti. Dalam hal ini, kebijakan yang bersifat mikroprudensial meningkatkan kehati-hatian bank sendiri tidak cukup. Diperlukan kebijakan yang bersifat agregat untuk mengendalikan perilaku ambil risiko agen ekonomi yang berlebihan, yakni kebijakan loan-to-value (LTV). Kebijakan ini

Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial

samping itu, kondisi pasar keuangan sebagai sebagai tempat para investor bertemu dan melakukan perdagangan aset keuangan juga menjadi penting untuk dipantau, karena informasi di pasar keuangan mencerminkan perilaku dan kinerja sektor keuangan. Elemen lainnya dari sistem keuangan, yakni infrastruktur sistem keuangan atau lebih dikenal sebagai sistem pembayaran, pun perlu dijaga stabilitasnya untuk menjaga agar seluruh transaksi keuangan dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Gambar di bawah menunjukkan cakupan dari kebijakan makroprudensial, yaitu sistem keuangan. Setiap elemen menjadi penting untuk dimonitor karena risiko dapat diidentifikasi dan dinilai dari hasil pemantauan tersebut. Risiko di setiap elemen sistem keuangan yang tidak segera dimitigasi memiliki potensi untuk menjadi risiko sistemik yang akan menyebabkan instabilitas pada sistem keuangan.

Gambar 1. Cakupan Sistem Keuangan dalam Kebijakan Makroprudensial