Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

Hadits hukum dalam ke, Cheat Sheet of Religion

Hadits hukum dan penerapan teknologi animasi dalam

Typology: Cheat Sheet

2021/2022

Uploaded on 10/25/2024

23106020005-23106020005
23106020005-23106020005 🇮🇩

1 document

1 / 20

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
Program Studi Hukum Tata Negara/Siyasah
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga
Oleh :
Dr. H. Syafaul Mudawam, MA, MM
Dosen Pengampu Mata Kuliah
Program Studi
HUKUM EKONOMI SYARIAH/ MUAMALAT
Fakultas Suariah dan Hukum
Sepetember 2023
pf3
pf4
pf5
pf8
pf9
pfa
pfd
pfe
pff
pf12
pf13
pf14

Partial preview of the text

Download Hadits hukum dalam ke and more Cheat Sheet Religion in PDF only on Docsity!

Program Studi Hukum Tata Negara/Siyasah

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan

Kalijaga

Oleh :

Dr. H. Syafaul Mudawam, MA, MM

Dosen Pengampu Mata Kuliah

Program Studi

HUKUM EKONOMI SYARIAH/ MUAMALAT

Fakultas Suariah dan Hukum

Sepetember 2023

Materi Kuliah Kedua

A. Dalil Nash Hadis :

ْ

Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah

bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan!

Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti

jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika

jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh

Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu

sumpah kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan

sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah yang lebih

baik (darinya)”.

Sunan Abu Daud 3104: Telah menceritakan kepada kami Abbas Al 'Anbari telah menceritakan

kepada kami Umar bin Yunus telah menceritakan kepada kami Mulazim bin 'Amru telah

menceritakan kepadaku Musa bin Najdah dari kakeknya Yazid bin Abdurrahman Abu Katsir ia

berkata: telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

beliau bersabda: "Barangsiapa menginginkan untuk menjadi hakim, kemudian keadilannya

mengalahkan kelalimannya maka baginya Surga, dan Barangsiapa yang kelalimannya

mengalahkan keadilannya maka baginya Neraka."

B. Penjelasan Hadis:

ي

E

Perkataan Nabi (saw) «

أو » atau siapa pun yang tertarik padanya»

menurut

Ulamak bahwa “ kebijaksanaan ” (keadalilan) itu tidak akan dapat dikuasai oleh orang-orang yang

meminta kekuasaan, hanya saja “ kebijaksanaan ” dapat diberikan kepada yang berhak , dan tidak

dapat disertakan proteksi atau perlindungan bersamanya, karena sesuangguhnya dalam

pemberian kuasa itu akan menimbulkan prasangka negatif.

ي

Perkataan Nabi (saw) «

ثُم َّغَلب ََعَدْلُه ُجَوْره »menjadi dasar pembentukan prinsip bahwa

dalam perilaku atau sikap “ bijaksana ” merupakan sikap yang lebih menguatkan kepada keadilan

dari pada ketidakjujuran atau kedlaliman. Berdasar sumber kedua dalil hadis tersebut yang

diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan Abrdurrahman bin Samurah, keduanya menjelaskan

tentang pemberian kekuasaan atau jabatan tanpa melalui permintaan, niscaya akan disertakan

pemberian perilindangan terhadap dirinya, dan tidak ada penurunan kekuasaan atau jabatan

secara paksa.

Berbicara tentang peradilan dalam Islam itu luas, bercabang, dan dengan materi yang banyak,

yang tidak dapat dijadikan dalam satu ruang, dan itu menunjukkan kepada masyarakat muslim

agar terdorong untuk merujuk pada sejarah peradilan yang benar-benar merupakan keagungan di

kalangan umat manusia, dan sebuah mahligai lembaga hukum dalam sejarah peradilan di

dalamnya. Untuk mengetahui keutamaan Islam dalam penilaiannya secara luhur dan bijaksana,

alangkah baiknya jika disebutkan ringkasan singkat peradilan di antara orang non-Arab dan di

antara orang Arab sebelum Islam, untuk menunjukkan manfaat dalam menghakimi orang, baik

sebelum maupun sesudah Islam.

Alangkah baiknya kita, setelah presentasi singkat tentang keadaan peradilan sebelum Islam ini,

kembali ke perbincangan tentang peradilan dalam sejarah Islam, dan ini menuntut kita untuk

mencari pandangan Islam tentang peradilan dan statusnya di dalamnya.

( 1 )

Kebutuhan umat manusia akan penghakiman sama dengan kebutuhannya akan matahari dan

udara. Jika kehakiman diangkat dari kehidupannya, ia akan turun ke dalam derajat selain

kemanusiaan dan berada dalam kegelapan yaitu; yang kuat memakan lemah, dan yang besar

memakan yang kecil, seperti halnya hewan dan ikan. Kehakiman, seperti yang dikatakan

Khalifah Al-Mamun, adalah keseimbangan Tuhan yang diberikan kepada manusia sehingga pada

mereka ada keadilan. تصان الحياة والكرامة والحرية لك ُفرد، وبه تَفظ فيه

Rasulullah (saw) telah memperingatkan tentang pahala besar bagi penegakan keadilan dan

statusnya tinggi, karena merupakan perbuatan atau profesi yang luhur dalam penegakan keadilan,

penegakan keadilan merupakan konflik dalam diri sendiri antara keberpihakan pada kebenaran

dan keadilan atau berpaling pada kebatilan atas dorongan mental dan rendahnya penghormatan

pada nilai amanah atau kejujuran. Sehingan Allah SWT mengkelompokkannya menjadi dua tipe

para pelaku penegakan hukum dan keadilan; seseorang yang diberi karunia kekayaan oleh Allah

SWT dan dipergunakannya untuk kebajikan, seseorang yang diberi pengetahuan oleh Allah SWT

dan mengamalkannya atas dasar ajaran yang diperoleh dari ilmu itu. مام الفقيهِإل ا قال

Imam al-Faqih Ibn Qudamah al-Hanbali berkata dalam bukunya

المغن ‘ Penegakan keadilan

merupakan fardlu kifayah ’, persoalan masyarakat tidak akan dicapai tanpa penegakan keadilan,

karena itu penegakan hukum dan keadilan merupakan Jihad atau Kekuasaan. Imam Ahmad bin

Hanbal menyampaikan: masyarakat harus memiliki penegak keadilan atau hukum, agar

kebenaran tidak akan hilang untuk mereka. Sungguh pada penegakan hukum itu melekat suatu

keutamaan yang besar bagi siapa pun yang mampu menjalankan dan menegakkan kebenaran.

Oleh karena itu Allah SWT memberikan pahala besar bagi mereka yang kuat dalam

melakukannya dan memenuhi hak di dalamnya, dan itulah mengapa Tuhan menjadikannya

sebagai pahala meskipun ada kesalahan dengan mengampuni hukuman atas kesalahannya. Pada

tanggungjawab penegakan hukum dan keadilan itu ada perintah untuk berbuat ma’ruf dan

melindungi masyarakat dari perbuatan kedlaliman. Memberikan kebenaran kepada mereka yang

berhak, dan menolak pemberian hak kepada mereka yang dlalim atas kedlaliman yang dilakukan.

Selain itu adalah menjaga keamanan atau perdamian di dalam masyarakat, menunaikan atas

dasar keihlasan bagi seseorang dengan yang lain. Perilaku itu smua merupakan jalan ber taqarrub

kepada Allah SWt dan pengabdian kepada, dan atas dasar itu Allah SWT mengutus dan memberi

kekuasaan berupa amanah kepada para Nabi dan Rasulnya untuk mengajarkan hukum dan

menegakkannya kepada umat mereka, sebagaimana Nabi SAW telah mengutus Ali bin Abi

Thalib dan Muadz bin Jabal menjadi Qadli (hakim) di Yaman. ف القضاة األمناء يَرزون

Hakim yang jujur mendapatkan pahala yang besar ini dari Allah SWT, karena mereka adalah

penjaga dan pelindung Syariah, dan penolong juga pendukung kebenaran, mereka tidak tahu

tentang yang besar atau kecil, dan tidak ada pejabat atau penguasa yang mengangkatnya dapat

mempengaruhi kekuasan penegakan hukum kepadanya, mareka dalam mencari dan menegakkan

kebenaran lebih mendahulukan atas dasar ridla dari Allah SWT sebelum diterima oleh hamba

pencari kebenaran. قدره

Oleh karena itu status peradilan dalam Islam adalah sangat besar yang dapat dijalani oleh orang

yang benar-benar memilki kapasitas yaitu; apa yang dilakukan sesuai dengan tugas yang

diamanahkan, tidak memberikan rasa takut pada bidang penegakan hukuman pada peradilan,

sehingga jangan terbentuk opini masyarakat yang berusaha menghindari wilayah kekuasan

kehakiman karena rasa takut dengan merasakan kekhawatiran. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifa

mengusulkan adanya ‘tempat hukuman’ (Lembaga Eksekusi Hukuman) bukan Lembaga

Pelaksanaan Pemasyarakatan sebagai tindak lanjut proses agar opini mereka benar-benar tidak

terjadi dalam kekuasaa penegakan hukum, bahkan sampai mati mereka akan menghindari untuk

. masuk ke wilayah kehakiman atau tidak kemauan untuk menjadi aparat bidang kehakiman

Pendapat yang lebih mengutamakan pada diterimanya profesi Hakim atau mmasuk ke kekuasaan

kehakiman di dasarkan pada periwayatan hadis yaitu: para Nabi dan Rasul serta keputusan sikap

para Khalifah menaruh sikap tidak harmoni kepada penguasa hukum atau hakim, karena

penegakan hukum atau pengadilan harus diikuti dengan kebenaran dan kejujuran jika berharap

untuk mendapatkan ridla Allah SWT dan dicatat sebagai amal ibadah berdasar keihlasan,

bahkan sebagai ibadah paling utama bagi Allah SWT. Dalil hadis tersebut menunjuk kepada

hakim yang tidak memiliki kapabilitas dan kredibilitas, termasuk hakim yang memperoleh

jabatan atau kekuasaan melalui nepotis atau kompromi.

حنيفة وأمثاله المشهور لهم بالكفاءة من تأبيهم والية



مام أب ِإل أما ما اشتهر عن ا

ْ

االقضاء فهو عندي على أحد الحالي

فمنهم من خاف على نفسه أن يضعف ي النهوض بهذه الوالية العظيمة، فتأبى. 1

منه مسوغا أن يلي هذه الوالية الرفيعة



عنها وهرب منها، وكان بهذا التأب

الْطيرة بعض الضعفاء عنها، فينجر ضعفهم عليها وعلى المجتمع معها، فكَن ذلك

.الكفء ي اجتهاده بترك والية القضاء ذا أجر واحد ، ولم يَرز بذلك أجرين



المتأب

ومنهم من كَن عرض هذه الوالية العظيمة عليه غير خال من شوائب معها. 2

نه من أعلم أهلَِإ ف & رحمه الله تعالى & حنيفة



مستورة وراءها كما وقع لإلمام أب

نظر الشْع الحنيف، وقد قرر ذلك ي عصره بسمو منزلة القضاء وأهميته ي

من مذهبه أوضح تقرير، فالَّي يبدو أن عرض القضاء عليه لم يكن خالصا

لزامي القاسي وما. ِإل المثَبسات السياسية ، التي كَنت تختفى وراء ذلك العرض ا

، إذ 032 ص » تاريخ التشْيع« أحسن ما قاله العثَمة الشيخ محمد الْضري ي كتابه

حنيفة فوجَّهها توجيها



،حسنا تعرض لهذه الواقعة من حياة أب

Adapun pendapat Imam Abu Hanifah paling masyhur (populer) sesuai dengan kompetensi

kehakiman bahwa dia menolak untuk memerintah peradilan, pendapat itu dapat dipahami dari

keputusannya tentang dua kasus seperti:

  1. Beberapa dari hakim memiliki perasaan takut bahwa dirinya akan lemah dalam menjalankan

mandat yang besar dalam melaksanakan hukum, jadi dia menolak dan menghindarkan diri

darinya karena hanya memperoleh satu bentuk penggajian tidak mendapat dua gaji (berupa

tunjangan hakim), dan akan menimbulkan kekhawatiran yang mendalam, sehingga

mendorong perilaku tidak dapat memberikan pelayanan penegakan hukum secara adil atas

dasar kebenaran yang harus diberikan kepada yang lebih berhak.

  1. Dan di antara mereka adalah memiliki ketakutan yang besar atas kekuasaan kehakiman dan

mengkhawatirkan dirinya memiliki kekurangan yang tersembunyi serat tidak bisa

menjalankannya atas dasar kemerdekaan seperti kekhawatiran yang terjadi pada Imam Abu

Hanifa, karena kekuasaan kehakiman adalah orang yang paling berpengetahuan tentang

supremasi peradilan dan pentingnya di mata hukum secara benar, dan ini diwujudkan dalam

keputusan-keputusan pengadilan yang harus disampaikan secara terbuka dan memiki

kebenran dan keadilan yang kuat. Tawaran untuk menolak jabatan kekuasan pengadilan

bukan tanpa alasan, karena pada jawabatan itu ada tugas dan tanggungjawab yeng

mengikatnya dan wajib dijalankan sebagai amanah. Pemahaman terhadap pemikiran Abu

Hanifah tentang kekuasaan kehakiman atau pengadilan yang terbaik sebagaimana dikatakan

oleh ulama Syekh Muhammad al-Khudari dalam bukunya Tarikh Tasyri’ (sejarah hukum

Islam) ketika dia mempresentasikan kejadian ini dari kehidupan Abu Hanifa dan memberinya

arahan yang baik.

Abu Hanifa menyadari bahwa masalah telah bergeser dari Bani Umayyah ke Bani al-Abbas, dan

Kufah adalah pusat dari gerakan utama dalam transisi keukasaan ini, dan di dalamnya terjadi

sumpah setia kepada Abu al-Abbas al-Saffah. Pada gerakan itu ditawarkan kekuasaan kehakiman

dan pengadilan kepada Abu Hanifa, tapi Abu Hanifa menolak dan dijadikan keputusnnya tentang

tawaran jabatan itu.

Berdasar dalil-dalil dalam hadis ini bahwa hadis ini adalah sumber syariah tentang pembentukan

prinsip-prinsip karakteristik Peradilan dalam Islam dan Keunggulannya:

ي

a) Allah SWT, adalah Hakim tunggal :

Tidak ada hukum selain bersumber dari Allah SWT, dan Hadis Rasulullah adalah

penjelas aturan melalui firman Allah SWT dan hukum yang telah ditetapkan di dalamnya.

Demikian pula para penguasa setelah Rasulullah SAW, mereka dalam menjalankan tugas

kehakiman selalu mengatasnamakan sebagai perwakilan Allah SWT dalam tugas dan

tanggungjawab bidang penegakan hukum serta penetapakan keputusan hukuman, yang

telah diatur oleh Allah SWT.

a) Hukum yang diatur berdasar kelembagaan Pengadilan :

Syariat adalah hukumAllah SWT yang sangat menjunjung kesempurnaan keadilan secara

bijaksana, karena bagaimanapun Syariat diciptakan oleh Allah SWT sebagai pencipta

makhluk dan dalam hal ini adalah sebagai Hakim Maha Tingga dari keseluruhan hakim

bagi manusia. Pada syariat itu telah diciptakan secara sempurna untuk keseluruhan

manusia, dan diturunkan sebagai Syariat atau aturan dan norma hukum yang dirturunkan

sebagai penyempurna aturan-aturan yang terlebih dahulu diturunkan ke dunia, dan

dengan Syariat itu menjadi sempurna kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada

seluruh hamba, serta menjadi sempurna atas apa yang menjadi segala kebutuhan manusia.

Bahkan merupakan paling sempurna dari syariat atau Hukum-hukum selainya, dimana

hukum-hukum yang diproduk selain dari Syariat, akan jauh dari keadilan. Sebagian besar

dibentuk atau disusun oleh manusia dalam bentuk hukum dan perundang-undangan untuk

kepentingan manusia itu sendiri. Oleh karena itu banyak mengandung kelemahan dan

kepentingan manusia itu sendiri, dampak pemberlakukannya akan menjadikan

kedhaliman (ketidakadilan dalam penegakan hukum) dan bahaya (merugikan dalam

penetapan hukuman) serta kerusakan (pemalsuan hukum akan terjadi).

d). والصديق، والبعيد والقريب ، وآيات القرآن الكريم الناطقة بذلك كثيرة

: Keadilan

Peradilan Islam dibedakan dari yang lainnya dalam menegakkan keadilan di antara

anggota masyarakat, Peradilan Islam tidak membedakan antara hitam dan putih, raja dan

wanita, kecil dan besar, kaya dan miskin, terhormat dan tercela. Dalam pandangan Islam,

orang sama seperti gigi sisir, tidak ada preferensi untuk orang Arab daripada non-Arab,

atau putih di atas kulit hitam. Kecuali takwa atau perbuatan baik, Islam telah

memberlakukan keadilan dalam memerintah dengan musuh dan teman, jauh dan dekat,

sebagaimana disampaikan melalui ayat-ayat Al-Qur'an yang dalam berbagai ayat.

g) .واحد شامل متكَمل متجانس بفروعه المتعددة واختصاصاته المتنوعة

: Unit Yudisial

Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa alasan dasar rpinsip penataan penegakan hukum

dan keadilan merupakan dasar kompetensi utama dalam menjalankan hukum yang

berhubungan keadilan dan kemaslahatan manusia. Dalam hal ini bagi masyarakat Muslim

telah memiliki kesatuan lembaga Peradilan Islam dalam menyelesaikan perkara hukum,

tidak berada pada berbagai lembaga penegakan hukum selainnya. Hal ini bahwa dalam

peradilan Islam tidak diperselisihkan dengan sumber-sumber penegakan hukum dengan

sumber lainnya (peraturan dan perundang-undangan lain), melaikan dari kesatuan sumber

peradilan yaitu Syariat Islam. Sebab penetapan status perkarara hukum dan hak-hak

masyarakat di dalam penegakan hukum ada berbeda dengan sumber lain dalam peraturan

hukum dan pundang-undang yang disusuan masyarakat, serta kecenderungan pada

kepentingan yang berbeda, tidak sama dengan status pengakan hukum yang dilaksanakan

dalam Peradilan Islam. Sehingga kesatuan Yuridiksi peradilan Islam sebagai peradilan

dari kesatuan ragam persoalam hukum dalam masyarakat, karena itu Peradilan Islam

merupakan lembaga peradilan yang memberikan pelayanan perselisihan dan sengketa

hukum ditangai hanya satu peradilan yang komprehensif, terintegrasi dan homogen

dengan banyak cabang dan berbagai spesialisasi.

C. Hikmah Syariah (Hukum Islam) Bersumber Hadis:

  1. Para ahli hukum telah sepakat bahwa pengadilan adalah suatu lembaga yang wajib

dijalankan oleh sebagian umat, dan dipenuhinya kewajiban tersebut akan membebaskan

kewajiban untuk yang lainnya, dan jika tidak ada yang melakukannya, ummat semuanya

berdosa, karena membangun penegakan hukum melalui lembaga peradilan adalah

hukumnya fardlu kifayah.

  1. Status hukum menjadi hakim bagi setiap pribadi atau individu adalah dibedakan satu

dengan lainnya atas dasar kondisi dan kapasitas serta kredibilitas masing-masing pribadi.

Demikian pula wajibnya jika ia ditunjuk untuknya dan tidak ada orang yang memiliki

kemampuan atau memenuhi unsur kondisi menjadi hakim seperti: kejujuran, kesalehan,

tidak keberpihakan kepada orang memiliki kedekatan dengannya, tidak dideskriminasi

orang lain, dan lainnya, sedang padanya memiliki kapasitas dan kredibilitas untuk

menjalankan pekerjaan atau profesi di lembaga peradilan atau hakim, dia tidak boleh

menyembunyikan apa yang sudah diketahui orang lain tentang kepribadian dirinya. Oleh

karena itu atas dasar penetapan kualifikasi yang disebut sebagai kondisi dan telah ada

pada diri seseorang, maka baginya wajib menjalankan pekerjaan tugas dan tanggung

jawab dalam peradilan dan hakim, meskipun tidak diangkat oleh pemerintah. Sebaliknya

ada tidak diperbolehkan ( haram ) atas penguasa atau pemerintah mengangkat penguasa

peradilan dan hakim dari orang-orang yang memiliki kemapuan dan kapasitas sebagai

pejabat peradilan dan hakim, yang diangkat harus orang-orang yang memenuhi

persyaratan sebagaimana bersumber dari Syariat Islam.

  1. Para ahli hukum menetapkan kepada hakim seperangkat kondisi dan spesifikasi yang

harus dipenuhi dalam kepribadiannya agar dapat sepenuhnya menjalankan tugasnya,

yaitu delapan syarat sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan dalil-dalil hadis di atas

ayitu :

Pertama : dewasa, anak laki-laki tidak diperbolehkan menjadi hakim di pengadilan dan

jika dia tetap diangkat adalah tidak sah dan ditolak. Karena Rasulullah SAW telah

memerintahkan untuk mencari perlindungan dari kekuasaan anak laki-laki, artinya

Rasulullah SAW memerintahkan agar masyarakat tidak mempercayakan urusan

persoalan hukum kepada anak-anak laki-laki masih di bawah umur. Imam Ahmad

meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: Di bumi ini akan sangat berbahaya, jika anak

laki-laki belum cukup umur diberi mandat dalam persolan hukum, karena pada dirinya

sendiri belum memiliki perwalian atau kekuasaan dalam bidang hukum atas dirinya

sendiri, ia tidak memiliki perwalian atas orang lain melalui pengadilan dan sejenisnya.

Karena peradilan tidak hanya membutuhkan kesempurnaan pikiran dengan kesempurnaan

tubuh, tetapi juga membutuhkan peningkatan kecerdasan dan kualitas pendapat.

Kedua : memiliki kecakapan pengatahuan dan mental, tidak diperbolehkan menyerahkan

persoalan hukum kepada orang tidak memiliki kesempurnaan jiwa, bodoh, atau buta mata

karena usia tua, atau penyakit dengan analogi dengan anak laki-laki. Al-Mawardi

menyampaikan pendapat bahwa syarat (kondisi) pemberian amanah atau mandat tugas

peradilan dan hakim (pendapat ini disepakati dan diikuti ulamak lainnya) menurut

pertimbangan al-Mawardi terkait dengan penugasan pekerjaan peradilan dan hakim yang

tidak memenuhi kualifikasi, karena dalam pekerjaan itu diperlukan agar benar dalam

kebijaksanaan, karena itu diperlukan kecerdasan yang baik, jauh dari kelupaan dan

kelalaian, sehingga kecerdasannya diperlukan untuk menjelaskan apa yang terbukti

kebenarannya dan membedakan apa yang salah.

yaitu kepresidenan negara atau perwalian atas negara-negara, dan karena Nabi SAW

tidak menyampaikan persoalan hakim wanita atau hanya persoalan penguasa dari unsur

wanita. Para Ulamak Mazhab Hanafi mengatakan bahwa wanita diperbolehkan menjadi

hakim selain hudud dan qisas, karena dia tidak memiliki kesaksian dalam kejahatan ini

dan dia memiliki kesaksian pada orang lain, dan kompetensi peradilan mereka tergantung

pada kapasitas untuk bersaksi. Ibn Jarir al-Tabari dalam hal ini menyampaikan bahwa

kewanitaannya’ bukanlah syarat untuk mengambil alih peradilan, sebagaimana fatwa

bersamanya, dan fatwa tidak mensyaratkan hanya untuk laki-laki, dan dalam hal ini

diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk menjadi hakim dalam bidang atau

sengketan uang dan hal lainnya.

Keenam : jujur dan mampu menegakkan keadilan, dipertimbangkan di setiap negara

dimanapun, dan menurut mayoritas ahli hukum dimaksudkan agar hakim sebagai

penguasa ketetapan dan memberi rasa aman dan kedamaian, bersungguh-sungguh dalam

tugas serta tanggungjawabnya, berkomitmen dalam tugas dan memiliki kesetiaan dalam

jabatannya, bebas dari hal-hal terlarang, dan menghindari dosa-dosa jauh dari prasangka

buruk pada orang lain, menggunakan kesopanan seperti pada dirinya dalam beragama dan

dunianya. Ini alasan mengapa tidak dibolehkan untuk melindungi pelaku kejahatan di

pengadilan atas tuduhan buruknya perilaku beragama bagi dirinya, sedang pengadilan

adalah salah satu kepercayaan terbesar.

Ketujuh : kemampuan dan indepedensi berijtihad, adalah kelayakan untuk mengambil

putusan dari sumber undang-undang, jadi mujtahid adalah orang yang mengetahui dari

Al-Qur'an dan as-Sunnah apa yang terkait dengan putusan secara khusus, umum, yang

diatur di dalamnya termasuk dikonstruksi, ditranskripsikan, disalin, dan tradisi-tradisi,

dan lain-lain, komunikasi dan pengirimnya, disamping kajian sumber Syariat yang

diperoleh dari periwayatan atas dasar status para perawi, karena itu adalah akan menjadi

kekuatan dan kelemahan dalam menjalankan ijtihad, juga kemampuan memahami bahasa

Arab dari semua jenis dan bahasa Arab, termasuk bahasa lainnya.

Kedelapan : memiliki kapasitas dan kapabilitas profesional, yang dimaksud adalah

mendengar, melihat, dan berbicara. Ini adalah syarat yang diharuskan dan dibenarkan

oleh sebagian besar Ulama, sehingga tidak boleh mengangkat hakim tuli, karena tidak

mendengar perkataan lawan, dan tidak diperbolehkan mengambil alih kepada yang buta.

Karena hakim buta tidak mengetahui siapa tergugat, tidak pula siapa yang menjadi

penggugat, atau saksi yang mengetahui peristiwa perkawa atau sebaliknya, dan tidak

boleh menyandang bisu karena ia tidak dapat mengucapkan putusan, dan tidak semua

orang memahami isyarat dari nya. Perseyaratan hakim ini akan menempatkan kedudukan

hakim pada lebih penting bagi mereka yang memiliki perkara, dan menjadikan prestise di

lembaga pengadilan serta kehakiman dalam Yuridiksi. Orang-orang yang memiliki

pengetahuan dan opini publik sebagai yang positif dan kredibilitas, baginya memiliki

mandat sebagai hakim, baik dipersyaratkan secara umum atau secara kualifikasi.

Sehingga penguasa pemerintah tidak diizinkan mengangkat hakim untuk penangan

perkara orang-orang Muslim di pengadilan dari kelompok non-muslim, dan hukumnya

haram serta keputusan hakim tidak sah atau tidak memiliki legalitas bagi umat Muslim.