












Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Hadits hukum dan penerapan teknologi animasi dalam
Typology: Cheat Sheet
1 / 20
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Program Studi Hukum Tata Negara/Siyasah
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga
Oleh :
Dr. H. Syafaul Mudawam, MA, MM
Dosen Pengampu Mata Kuliah
Program Studi
HUKUM EKONOMI SYARIAH/ MUAMALAT
Fakultas Suariah dan Hukum
Sepetember 2023
A. Dalil Nash Hadis :
ْ
Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan!
Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti
jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika
jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh
Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu
sumpah kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan
sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah yang lebih
baik (darinya)”.
Sunan Abu Daud 3104: Telah menceritakan kepada kami Abbas Al 'Anbari telah menceritakan
kepada kami Umar bin Yunus telah menceritakan kepada kami Mulazim bin 'Amru telah
menceritakan kepadaku Musa bin Najdah dari kakeknya Yazid bin Abdurrahman Abu Katsir ia
berkata: telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda: "Barangsiapa menginginkan untuk menjadi hakim, kemudian keadilannya
mengalahkan kelalimannya maka baginya Surga, dan Barangsiapa yang kelalimannya
mengalahkan keadilannya maka baginya Neraka."
B. Penjelasan Hadis:
ي
Perkataan Nabi (saw) «
أو » atau siapa pun yang tertarik padanya»
menurut
Ulamak bahwa “ kebijaksanaan ” (keadalilan) itu tidak akan dapat dikuasai oleh orang-orang yang
meminta kekuasaan, hanya saja “ kebijaksanaan ” dapat diberikan kepada yang berhak , dan tidak
dapat disertakan proteksi atau perlindungan bersamanya, karena sesuangguhnya dalam
pemberian kuasa itu akan menimbulkan prasangka negatif.
ي
Perkataan Nabi (saw) «
ثُم َّغَلب ََعَدْلُه ُجَوْره »menjadi dasar pembentukan prinsip bahwa
dalam perilaku atau sikap “ bijaksana ” merupakan sikap yang lebih menguatkan kepada keadilan
dari pada ketidakjujuran atau kedlaliman. Berdasar sumber kedua dalil hadis tersebut yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan Abrdurrahman bin Samurah, keduanya menjelaskan
tentang pemberian kekuasaan atau jabatan tanpa melalui permintaan, niscaya akan disertakan
pemberian perilindangan terhadap dirinya, dan tidak ada penurunan kekuasaan atau jabatan
secara paksa.
Berbicara tentang peradilan dalam Islam itu luas, bercabang, dan dengan materi yang banyak,
yang tidak dapat dijadikan dalam satu ruang, dan itu menunjukkan kepada masyarakat muslim
agar terdorong untuk merujuk pada sejarah peradilan yang benar-benar merupakan keagungan di
kalangan umat manusia, dan sebuah mahligai lembaga hukum dalam sejarah peradilan di
dalamnya. Untuk mengetahui keutamaan Islam dalam penilaiannya secara luhur dan bijaksana,
alangkah baiknya jika disebutkan ringkasan singkat peradilan di antara orang non-Arab dan di
antara orang Arab sebelum Islam, untuk menunjukkan manfaat dalam menghakimi orang, baik
sebelum maupun sesudah Islam.
Alangkah baiknya kita, setelah presentasi singkat tentang keadaan peradilan sebelum Islam ini,
kembali ke perbincangan tentang peradilan dalam sejarah Islam, dan ini menuntut kita untuk
mencari pandangan Islam tentang peradilan dan statusnya di dalamnya.
( 1 )
Kebutuhan umat manusia akan penghakiman sama dengan kebutuhannya akan matahari dan
udara. Jika kehakiman diangkat dari kehidupannya, ia akan turun ke dalam derajat selain
kemanusiaan dan berada dalam kegelapan yaitu; yang kuat memakan lemah, dan yang besar
memakan yang kecil, seperti halnya hewan dan ikan. Kehakiman, seperti yang dikatakan
Khalifah Al-Mamun, adalah keseimbangan Tuhan yang diberikan kepada manusia sehingga pada
mereka ada keadilan. تصان الحياة والكرامة والحرية لك ُفرد، وبه تَفظ فيه
Rasulullah (saw) telah memperingatkan tentang pahala besar bagi penegakan keadilan dan
statusnya tinggi, karena merupakan perbuatan atau profesi yang luhur dalam penegakan keadilan,
penegakan keadilan merupakan konflik dalam diri sendiri antara keberpihakan pada kebenaran
dan keadilan atau berpaling pada kebatilan atas dorongan mental dan rendahnya penghormatan
pada nilai amanah atau kejujuran. Sehingan Allah SWT mengkelompokkannya menjadi dua tipe
para pelaku penegakan hukum dan keadilan; seseorang yang diberi karunia kekayaan oleh Allah
SWT dan dipergunakannya untuk kebajikan, seseorang yang diberi pengetahuan oleh Allah SWT
dan mengamalkannya atas dasar ajaran yang diperoleh dari ilmu itu. مام الفقيهِإل ا قال
Imam al-Faqih Ibn Qudamah al-Hanbali berkata dalam bukunya
المغن ‘ Penegakan keadilan
merupakan fardlu kifayah ’, persoalan masyarakat tidak akan dicapai tanpa penegakan keadilan,
karena itu penegakan hukum dan keadilan merupakan Jihad atau Kekuasaan. Imam Ahmad bin
Hanbal menyampaikan: masyarakat harus memiliki penegak keadilan atau hukum, agar
kebenaran tidak akan hilang untuk mereka. Sungguh pada penegakan hukum itu melekat suatu
keutamaan yang besar bagi siapa pun yang mampu menjalankan dan menegakkan kebenaran.
Oleh karena itu Allah SWT memberikan pahala besar bagi mereka yang kuat dalam
melakukannya dan memenuhi hak di dalamnya, dan itulah mengapa Tuhan menjadikannya
sebagai pahala meskipun ada kesalahan dengan mengampuni hukuman atas kesalahannya. Pada
tanggungjawab penegakan hukum dan keadilan itu ada perintah untuk berbuat ma’ruf dan
melindungi masyarakat dari perbuatan kedlaliman. Memberikan kebenaran kepada mereka yang
berhak, dan menolak pemberian hak kepada mereka yang dlalim atas kedlaliman yang dilakukan.
Selain itu adalah menjaga keamanan atau perdamian di dalam masyarakat, menunaikan atas
dasar keihlasan bagi seseorang dengan yang lain. Perilaku itu smua merupakan jalan ber taqarrub
kepada Allah SWt dan pengabdian kepada, dan atas dasar itu Allah SWT mengutus dan memberi
kekuasaan berupa amanah kepada para Nabi dan Rasulnya untuk mengajarkan hukum dan
menegakkannya kepada umat mereka, sebagaimana Nabi SAW telah mengutus Ali bin Abi
Thalib dan Muadz bin Jabal menjadi Qadli (hakim) di Yaman. ف القضاة األمناء يَرزون
Hakim yang jujur mendapatkan pahala yang besar ini dari Allah SWT, karena mereka adalah
penjaga dan pelindung Syariah, dan penolong juga pendukung kebenaran, mereka tidak tahu
tentang yang besar atau kecil, dan tidak ada pejabat atau penguasa yang mengangkatnya dapat
mempengaruhi kekuasan penegakan hukum kepadanya, mareka dalam mencari dan menegakkan
kebenaran lebih mendahulukan atas dasar ridla dari Allah SWT sebelum diterima oleh hamba
pencari kebenaran. قدره
Oleh karena itu status peradilan dalam Islam adalah sangat besar yang dapat dijalani oleh orang
yang benar-benar memilki kapasitas yaitu; apa yang dilakukan sesuai dengan tugas yang
diamanahkan, tidak memberikan rasa takut pada bidang penegakan hukuman pada peradilan,
sehingga jangan terbentuk opini masyarakat yang berusaha menghindari wilayah kekuasan
kehakiman karena rasa takut dengan merasakan kekhawatiran. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifa
mengusulkan adanya ‘tempat hukuman’ (Lembaga Eksekusi Hukuman) bukan Lembaga
Pelaksanaan Pemasyarakatan sebagai tindak lanjut proses agar opini mereka benar-benar tidak
terjadi dalam kekuasaa penegakan hukum, bahkan sampai mati mereka akan menghindari untuk
. masuk ke wilayah kehakiman atau tidak kemauan untuk menjadi aparat bidang kehakiman
Pendapat yang lebih mengutamakan pada diterimanya profesi Hakim atau mmasuk ke kekuasaan
kehakiman di dasarkan pada periwayatan hadis yaitu: para Nabi dan Rasul serta keputusan sikap
para Khalifah menaruh sikap tidak harmoni kepada penguasa hukum atau hakim, karena
penegakan hukum atau pengadilan harus diikuti dengan kebenaran dan kejujuran jika berharap
untuk mendapatkan ridla Allah SWT dan dicatat sebagai amal ibadah berdasar keihlasan,
bahkan sebagai ibadah paling utama bagi Allah SWT. Dalil hadis tersebut menunjuk kepada
hakim yang tidak memiliki kapabilitas dan kredibilitas, termasuk hakim yang memperoleh
jabatan atau kekuasaan melalui nepotis atau kompromi.
حنيفة وأمثاله المشهور لهم بالكفاءة من تأبيهم والية
مام أب ِإل أما ما اشتهر عن ا
ْ
االقضاء فهو عندي على أحد الحالي
فمنهم من خاف على نفسه أن يضعف ي النهوض بهذه الوالية العظيمة، فتأبى. 1
منه مسوغا أن يلي هذه الوالية الرفيعة
عنها وهرب منها، وكان بهذا التأب
الْطيرة بعض الضعفاء عنها، فينجر ضعفهم عليها وعلى المجتمع معها، فكَن ذلك
.الكفء ي اجتهاده بترك والية القضاء ذا أجر واحد ، ولم يَرز بذلك أجرين
المتأب
ومنهم من كَن عرض هذه الوالية العظيمة عليه غير خال من شوائب معها. 2
نه من أعلم أهلَِإ ف & رحمه الله تعالى & حنيفة
مستورة وراءها كما وقع لإلمام أب
نظر الشْع الحنيف، وقد قرر ذلك ي عصره بسمو منزلة القضاء وأهميته ي
من مذهبه أوضح تقرير، فالَّي يبدو أن عرض القضاء عليه لم يكن خالصا
لزامي القاسي وما. ِإل المثَبسات السياسية ، التي كَنت تختفى وراء ذلك العرض ا
، إذ 032 ص » تاريخ التشْيع« أحسن ما قاله العثَمة الشيخ محمد الْضري ي كتابه
حنيفة فوجَّهها توجيها
،حسنا تعرض لهذه الواقعة من حياة أب
Adapun pendapat Imam Abu Hanifah paling masyhur (populer) sesuai dengan kompetensi
kehakiman bahwa dia menolak untuk memerintah peradilan, pendapat itu dapat dipahami dari
keputusannya tentang dua kasus seperti:
mandat yang besar dalam melaksanakan hukum, jadi dia menolak dan menghindarkan diri
darinya karena hanya memperoleh satu bentuk penggajian tidak mendapat dua gaji (berupa
tunjangan hakim), dan akan menimbulkan kekhawatiran yang mendalam, sehingga
mendorong perilaku tidak dapat memberikan pelayanan penegakan hukum secara adil atas
dasar kebenaran yang harus diberikan kepada yang lebih berhak.
mengkhawatirkan dirinya memiliki kekurangan yang tersembunyi serat tidak bisa
menjalankannya atas dasar kemerdekaan seperti kekhawatiran yang terjadi pada Imam Abu
Hanifa, karena kekuasaan kehakiman adalah orang yang paling berpengetahuan tentang
supremasi peradilan dan pentingnya di mata hukum secara benar, dan ini diwujudkan dalam
keputusan-keputusan pengadilan yang harus disampaikan secara terbuka dan memiki
kebenran dan keadilan yang kuat. Tawaran untuk menolak jabatan kekuasan pengadilan
bukan tanpa alasan, karena pada jawabatan itu ada tugas dan tanggungjawab yeng
mengikatnya dan wajib dijalankan sebagai amanah. Pemahaman terhadap pemikiran Abu
Hanifah tentang kekuasaan kehakiman atau pengadilan yang terbaik sebagaimana dikatakan
oleh ulama Syekh Muhammad al-Khudari dalam bukunya Tarikh Tasyri’ (sejarah hukum
Islam) ketika dia mempresentasikan kejadian ini dari kehidupan Abu Hanifa dan memberinya
arahan yang baik.
Abu Hanifa menyadari bahwa masalah telah bergeser dari Bani Umayyah ke Bani al-Abbas, dan
Kufah adalah pusat dari gerakan utama dalam transisi keukasaan ini, dan di dalamnya terjadi
sumpah setia kepada Abu al-Abbas al-Saffah. Pada gerakan itu ditawarkan kekuasaan kehakiman
dan pengadilan kepada Abu Hanifa, tapi Abu Hanifa menolak dan dijadikan keputusnnya tentang
tawaran jabatan itu.
Berdasar dalil-dalil dalam hadis ini bahwa hadis ini adalah sumber syariah tentang pembentukan
prinsip-prinsip karakteristik Peradilan dalam Islam dan Keunggulannya:
ي
a) Allah SWT, adalah Hakim tunggal :
Tidak ada hukum selain bersumber dari Allah SWT, dan Hadis Rasulullah adalah
penjelas aturan melalui firman Allah SWT dan hukum yang telah ditetapkan di dalamnya.
Demikian pula para penguasa setelah Rasulullah SAW, mereka dalam menjalankan tugas
kehakiman selalu mengatasnamakan sebagai perwakilan Allah SWT dalam tugas dan
tanggungjawab bidang penegakan hukum serta penetapakan keputusan hukuman, yang
telah diatur oleh Allah SWT.
a) Hukum yang diatur berdasar kelembagaan Pengadilan :
Syariat adalah hukumAllah SWT yang sangat menjunjung kesempurnaan keadilan secara
bijaksana, karena bagaimanapun Syariat diciptakan oleh Allah SWT sebagai pencipta
makhluk dan dalam hal ini adalah sebagai Hakim Maha Tingga dari keseluruhan hakim
bagi manusia. Pada syariat itu telah diciptakan secara sempurna untuk keseluruhan
manusia, dan diturunkan sebagai Syariat atau aturan dan norma hukum yang dirturunkan
sebagai penyempurna aturan-aturan yang terlebih dahulu diturunkan ke dunia, dan
dengan Syariat itu menjadi sempurna kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada
seluruh hamba, serta menjadi sempurna atas apa yang menjadi segala kebutuhan manusia.
Bahkan merupakan paling sempurna dari syariat atau Hukum-hukum selainya, dimana
hukum-hukum yang diproduk selain dari Syariat, akan jauh dari keadilan. Sebagian besar
dibentuk atau disusun oleh manusia dalam bentuk hukum dan perundang-undangan untuk
kepentingan manusia itu sendiri. Oleh karena itu banyak mengandung kelemahan dan
kepentingan manusia itu sendiri, dampak pemberlakukannya akan menjadikan
kedhaliman (ketidakadilan dalam penegakan hukum) dan bahaya (merugikan dalam
penetapan hukuman) serta kerusakan (pemalsuan hukum akan terjadi).
d). والصديق، والبعيد والقريب ، وآيات القرآن الكريم الناطقة بذلك كثيرة
: Keadilan
Peradilan Islam dibedakan dari yang lainnya dalam menegakkan keadilan di antara
anggota masyarakat, Peradilan Islam tidak membedakan antara hitam dan putih, raja dan
wanita, kecil dan besar, kaya dan miskin, terhormat dan tercela. Dalam pandangan Islam,
orang sama seperti gigi sisir, tidak ada preferensi untuk orang Arab daripada non-Arab,
atau putih di atas kulit hitam. Kecuali takwa atau perbuatan baik, Islam telah
memberlakukan keadilan dalam memerintah dengan musuh dan teman, jauh dan dekat,
sebagaimana disampaikan melalui ayat-ayat Al-Qur'an yang dalam berbagai ayat.
g) .واحد شامل متكَمل متجانس بفروعه المتعددة واختصاصاته المتنوعة
: Unit Yudisial
Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa alasan dasar rpinsip penataan penegakan hukum
dan keadilan merupakan dasar kompetensi utama dalam menjalankan hukum yang
berhubungan keadilan dan kemaslahatan manusia. Dalam hal ini bagi masyarakat Muslim
telah memiliki kesatuan lembaga Peradilan Islam dalam menyelesaikan perkara hukum,
tidak berada pada berbagai lembaga penegakan hukum selainnya. Hal ini bahwa dalam
peradilan Islam tidak diperselisihkan dengan sumber-sumber penegakan hukum dengan
sumber lainnya (peraturan dan perundang-undangan lain), melaikan dari kesatuan sumber
peradilan yaitu Syariat Islam. Sebab penetapan status perkarara hukum dan hak-hak
masyarakat di dalam penegakan hukum ada berbeda dengan sumber lain dalam peraturan
hukum dan pundang-undang yang disusuan masyarakat, serta kecenderungan pada
kepentingan yang berbeda, tidak sama dengan status pengakan hukum yang dilaksanakan
dalam Peradilan Islam. Sehingga kesatuan Yuridiksi peradilan Islam sebagai peradilan
dari kesatuan ragam persoalam hukum dalam masyarakat, karena itu Peradilan Islam
merupakan lembaga peradilan yang memberikan pelayanan perselisihan dan sengketa
hukum ditangai hanya satu peradilan yang komprehensif, terintegrasi dan homogen
dengan banyak cabang dan berbagai spesialisasi.
C. Hikmah Syariah (Hukum Islam) Bersumber Hadis:
dijalankan oleh sebagian umat, dan dipenuhinya kewajiban tersebut akan membebaskan
kewajiban untuk yang lainnya, dan jika tidak ada yang melakukannya, ummat semuanya
berdosa, karena membangun penegakan hukum melalui lembaga peradilan adalah
hukumnya fardlu kifayah.
dengan lainnya atas dasar kondisi dan kapasitas serta kredibilitas masing-masing pribadi.
Demikian pula wajibnya jika ia ditunjuk untuknya dan tidak ada orang yang memiliki
kemampuan atau memenuhi unsur kondisi menjadi hakim seperti: kejujuran, kesalehan,
tidak keberpihakan kepada orang memiliki kedekatan dengannya, tidak dideskriminasi
orang lain, dan lainnya, sedang padanya memiliki kapasitas dan kredibilitas untuk
menjalankan pekerjaan atau profesi di lembaga peradilan atau hakim, dia tidak boleh
menyembunyikan apa yang sudah diketahui orang lain tentang kepribadian dirinya. Oleh
karena itu atas dasar penetapan kualifikasi yang disebut sebagai kondisi dan telah ada
pada diri seseorang, maka baginya wajib menjalankan pekerjaan tugas dan tanggung
jawab dalam peradilan dan hakim, meskipun tidak diangkat oleh pemerintah. Sebaliknya
ada tidak diperbolehkan ( haram ) atas penguasa atau pemerintah mengangkat penguasa
peradilan dan hakim dari orang-orang yang memiliki kemapuan dan kapasitas sebagai
pejabat peradilan dan hakim, yang diangkat harus orang-orang yang memenuhi
persyaratan sebagaimana bersumber dari Syariat Islam.
harus dipenuhi dalam kepribadiannya agar dapat sepenuhnya menjalankan tugasnya,
yaitu delapan syarat sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan dalil-dalil hadis di atas
ayitu :
Pertama : dewasa, anak laki-laki tidak diperbolehkan menjadi hakim di pengadilan dan
jika dia tetap diangkat adalah tidak sah dan ditolak. Karena Rasulullah SAW telah
memerintahkan untuk mencari perlindungan dari kekuasaan anak laki-laki, artinya
Rasulullah SAW memerintahkan agar masyarakat tidak mempercayakan urusan
persoalan hukum kepada anak-anak laki-laki masih di bawah umur. Imam Ahmad
meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: Di bumi ini akan sangat berbahaya, jika anak
laki-laki belum cukup umur diberi mandat dalam persolan hukum, karena pada dirinya
sendiri belum memiliki perwalian atau kekuasaan dalam bidang hukum atas dirinya
sendiri, ia tidak memiliki perwalian atas orang lain melalui pengadilan dan sejenisnya.
Karena peradilan tidak hanya membutuhkan kesempurnaan pikiran dengan kesempurnaan
tubuh, tetapi juga membutuhkan peningkatan kecerdasan dan kualitas pendapat.
Kedua : memiliki kecakapan pengatahuan dan mental, tidak diperbolehkan menyerahkan
persoalan hukum kepada orang tidak memiliki kesempurnaan jiwa, bodoh, atau buta mata
karena usia tua, atau penyakit dengan analogi dengan anak laki-laki. Al-Mawardi
menyampaikan pendapat bahwa syarat (kondisi) pemberian amanah atau mandat tugas
peradilan dan hakim (pendapat ini disepakati dan diikuti ulamak lainnya) menurut
pertimbangan al-Mawardi terkait dengan penugasan pekerjaan peradilan dan hakim yang
tidak memenuhi kualifikasi, karena dalam pekerjaan itu diperlukan agar benar dalam
kebijaksanaan, karena itu diperlukan kecerdasan yang baik, jauh dari kelupaan dan
kelalaian, sehingga kecerdasannya diperlukan untuk menjelaskan apa yang terbukti
kebenarannya dan membedakan apa yang salah.
yaitu kepresidenan negara atau perwalian atas negara-negara, dan karena Nabi SAW
tidak menyampaikan persoalan hakim wanita atau hanya persoalan penguasa dari unsur
wanita. Para Ulamak Mazhab Hanafi mengatakan bahwa wanita diperbolehkan menjadi
hakim selain hudud dan qisas, karena dia tidak memiliki kesaksian dalam kejahatan ini
dan dia memiliki kesaksian pada orang lain, dan kompetensi peradilan mereka tergantung
pada kapasitas untuk bersaksi. Ibn Jarir al-Tabari dalam hal ini menyampaikan bahwa
‘ kewanitaannya’ bukanlah syarat untuk mengambil alih peradilan, sebagaimana fatwa
bersamanya, dan fatwa tidak mensyaratkan hanya untuk laki-laki, dan dalam hal ini
diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk menjadi hakim dalam bidang atau
sengketan uang dan hal lainnya.
Keenam : jujur dan mampu menegakkan keadilan, dipertimbangkan di setiap negara
dimanapun, dan menurut mayoritas ahli hukum dimaksudkan agar hakim sebagai
penguasa ketetapan dan memberi rasa aman dan kedamaian, bersungguh-sungguh dalam
tugas serta tanggungjawabnya, berkomitmen dalam tugas dan memiliki kesetiaan dalam
jabatannya, bebas dari hal-hal terlarang, dan menghindari dosa-dosa jauh dari prasangka
buruk pada orang lain, menggunakan kesopanan seperti pada dirinya dalam beragama dan
dunianya. Ini alasan mengapa tidak dibolehkan untuk melindungi pelaku kejahatan di
pengadilan atas tuduhan buruknya perilaku beragama bagi dirinya, sedang pengadilan
adalah salah satu kepercayaan terbesar.
Ketujuh : kemampuan dan indepedensi berijtihad, adalah kelayakan untuk mengambil
putusan dari sumber undang-undang, jadi mujtahid adalah orang yang mengetahui dari
Al-Qur'an dan as-Sunnah apa yang terkait dengan putusan secara khusus, umum, yang
diatur di dalamnya termasuk dikonstruksi, ditranskripsikan, disalin, dan tradisi-tradisi,
dan lain-lain, komunikasi dan pengirimnya, disamping kajian sumber Syariat yang
diperoleh dari periwayatan atas dasar status para perawi, karena itu adalah akan menjadi
kekuatan dan kelemahan dalam menjalankan ijtihad, juga kemampuan memahami bahasa
Arab dari semua jenis dan bahasa Arab, termasuk bahasa lainnya.
Kedelapan : memiliki kapasitas dan kapabilitas profesional, yang dimaksud adalah
mendengar, melihat, dan berbicara. Ini adalah syarat yang diharuskan dan dibenarkan
oleh sebagian besar Ulama, sehingga tidak boleh mengangkat hakim tuli, karena tidak
mendengar perkataan lawan, dan tidak diperbolehkan mengambil alih kepada yang buta.
Karena hakim buta tidak mengetahui siapa tergugat, tidak pula siapa yang menjadi
penggugat, atau saksi yang mengetahui peristiwa perkawa atau sebaliknya, dan tidak
boleh menyandang bisu karena ia tidak dapat mengucapkan putusan, dan tidak semua
orang memahami isyarat dari nya. Perseyaratan hakim ini akan menempatkan kedudukan
hakim pada lebih penting bagi mereka yang memiliki perkara, dan menjadikan prestise di
lembaga pengadilan serta kehakiman dalam Yuridiksi. Orang-orang yang memiliki
pengetahuan dan opini publik sebagai yang positif dan kredibilitas, baginya memiliki
mandat sebagai hakim, baik dipersyaratkan secara umum atau secara kualifikasi.
Sehingga penguasa pemerintah tidak diizinkan mengangkat hakim untuk penangan
perkara orang-orang Muslim di pengadilan dari kelompok non-muslim, dan hukumnya
haram serta keputusan hakim tidak sah atau tidak memiliki legalitas bagi umat Muslim.